Guru Teladan di Tanah Pedalaman

Masih banyak orang yang ingin bahkan bercita-cita menjadi guru. Apalagi, menjadi guru di daerah yang segalanya serba mudah dan hak yang jelas. Tetapi, apakah ada yang bercita-cita menjadi seorang guru di pedalaman dengan fasilitas serba terbatas dan hak yang mungkin juga sangat terbatas? Mungkin masih ada, tetapi segelintir saja yang mau melakukannya.

Asman Hatta dan Rohmat. Kedua nama itu mungkin hanya dikenal segelintir orang, tetapi jasa keduanya tak bisa diremehkan. Ya! Keduanya mampu melakukan hal-hal tak biasa dan tak mampu dilakukan orang banyak. Di saat kebanyakan orang memilih aktivitas atau pekerjaan yang dapat memperkaya diri, mereka lebih memilih “pekerjaan” untuk memperkaya hatinya.

Pelita di Pedalaman Jambi

“Alhamdulillah, ada yang sudah jadi TNI, imam masjid, khatib Jumat, guru madrasah, bisa baca-tulis, berhitung. Alhamdulillah juga sebagian sudah bisa baca al-Quran,” kata Asman Hatta dengan penuh bangga.

Ya, Hatta, sapaan akrabnya memang patut berbangga menyaksikan orang-orang atau anak-anak yang dibinanya memiliki kehidupan layak seperti masyarakat pada umumnya. Berbaur dengan masyarakat lain, bisa membaca, berhitung, berprestasi, dan mengenal Rabb yang menciptakan mereka adalah impian lelaki kelahiran Penyengat Olak 39 tahun lalu ini.

Tahun 2002, Hatta KKN di Kampung Muaro Jambi. Saat memancing, secara tidak sengaja Hatta bertemu dengan Suku Anak Dalam (SAD). Perilaku dan penampilan “nyentrik” membuat isi kepala Hatta dipenuhi pertanyaan. Sejak pertemuan pertama itu, Hatta mulai tertarik dan mencari tahu siapa mereka sebenarnya. Keesokan harinya, Hatta sengaja memancing di tempat yang sama dan mulai mencari tahu sosok yang telah mencuri perhatiannya itu. Jadi, masa-masa KKN, Hatta bukannya bertugas di kampung tetapi malah masuk ke hutan dan mencari SAD.

Setelah identitas mereka diketahui, Hatta semakin bersemangat untuk mendekati mereka. Hatta mencari tahu cara mendekati mereka karena meurut kabar yang beredar karakter SAD adalah sangat sulit didekati dan tidak mudah percaya kepada orang luar. Selain penasaran yang luar biasa, rupanya Hatta juga merasa iba kepada anak-anak SAD karena mereka tidak berpakaian dan makan sembarangan.

“Saya merasa penasaran dan kasihan dengan anak-anak di sana, mereka tidak berbaju dan makannya pun sebarangan. Akhirnya saya bina. Tapi waktu itu susah sekali untuk mendekatinya karena karakter SAD ini susah didekati dan tidak mudah percaya dengan orang lain,” kenang Hatta.

Setelah tahu cara ampuh mendekati SAD, Hatta bersama Herianto, sahabat yang ia kenal sejak sembilan belas tahun silam ini mulai bergerak dan berjuang membina SAD. Hatta dan Herianto kemudian berbagi peran dan memperluas wilayah binaan. Selain mengajar, Herianto bertugas sebagai Ketua Pembinaan dan mencari dana, sedangkan Hatta bertugas sebagai Ketua Lapangan. Tercatat beberapa titik binaan seperti SAD Lubuk Kayu Aro, SAD skaladi, SAD Nyogan Sagandi, SAD Nebang Parah, SAD Markanding, SAD Sungai Beruang, SAD Sungai Serengam, SAD Koto Boyo dan beberapa daerah lainnya.

Beragam Ujian

Jangan dibayangkan kalau usaha Hatta dan Herianto membina SAD berjalan mulus seperti di jalan tol. Beberapa SAD tinggal di hutan yang sulit ditempuh. Di Koto Boyo misalnya. Perjalanan yang ditempuh dari rumah Hatta ke lokasi ini memang bukan main-main. Diperlukan waktu 5-6 jam perjalanan menggunakan mobil khusus karena kondisi jalanan yang belum bagus. Apalagi saat musim hujan. Medan semakin sulit karena jalanan menjadi becek, licin, sehingga mengakibatkan beberapa kendaraan ambles. Karenanya, saat Hatta mengajar, ia lebih memilih menggunakan motor trail yang dibelinya dengan harga murah dan khusus digunakan untuk membina SAD.

Jarak yang tak singkat, membuat Hatta sering bermalam di hutan. Pernah pada suatu saat, Hatta menginap beberapa hari di hutan dan kehabisan bekal. Karena merasa haus tak tertahankan, Hatta terpaksa menebas ular yang ada didekatnya kemudian meminum darahnya. Hatta juga berkisah saat ia rela tidur beralas tanah berhari-hari di dalam hutan.

Biaya juga menjadi salah satu ujian Herianto dan Hatta. Salah satunya ketika ada salah seorang anak suku dalam yang sakit karena busung lapar. Saat itu, salah seorang warga menghubungi Hatta dan mengeluhkan anaknya yang sakit. Adi namanya. Saat diperiksa, Hatta meyakini bahwa Adi sakit karena busung lapar. Setelah dibawa ke rumah sakit, Adi tidak dapat ditangani secara langsung karena kedua orangtuanya tidak memiliki kartu identitas apapun. Hatta dan Herianto tidak menyerah, berbagai cara keduanya lakukan agar Adi bisa ditangani. Akhirnya, anak tersebut dirawat selama dua pekan. Selama itu pula Hatta menengoknya.

Setelah dirawat, Adi akhirnya bisa pulang namun harus tetap kontrol selama beberapa pekan. Sayangnya, Hatta mengaku, uang yang dimilikinya sudah habis sehingga Hatta tidak sanggup mengantar Adi kontrol ke rumah sakit. Dengan sangat terpaksa, Adi di rawat di kampung dan diterapi secara tradisional. Akhirnya, saat ini Adi sudah bisa berjalan dan beraktivitas seperti biasa.

Tak ada waktu atau tempat khusus untuk membina SAD, apalagi beberapa SAD tempat tinggalnya masih berpindah-pindah (nomaden). Berbekal alas sederhana, papan tulis kecil, spidol, dan penghapus, Hatta siap mengajar anak-anak SAD dan ngobrol santai sambil ceramah dengan orang-orang dewasanya. Tidak lupa, Hatta juga kerap membawa bantuan untuk warga SAD seperti makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya yang bersumber dari dana bantuan kenalannya.

“Kalau badan sehat, bisa hampir enam kali minimal empat kali sepekan ngajar. Itu pun bisa siang bisa malam. Pokoknya sayo itu sudah nyampur sama orang-orang SAD Jambi,” kata Hatta dengan dialek khasnya.

Bertahun-tahun membina SAD bersama sahabatnya, Hatta mengaku mendapatkan kepuasan tersendiri. Bukan harta yang didapatnya. Karena hingga saat ini Hatta, istri dan anaknya masih tinggal di rumah yang sangat sederhana. Kalau mau, Hatta akan bekerja keras agar lubang-lubang di rumahnya bisa ditutupi sehingga Hatta sekeluarga tidak perlu waswas jika musim hujan tiba atau binatang yang masuk ke rumahnya.

Kebahagiaan yang luar biasa dirasakan Hatta ketika banyak warga SAD berbondong-bondong masuk Islam. Baginya, inilah “gaji” terbaik yang diupayakan hingga bertahun-tahun lamanya. Mulai saat itu, Hatta bertekad untuk terus membina SAD hingga akhir hayatnya.

“Selagi nyawa saya masih di badan, Insya Allah, sambil mencetak kader asli anak-anak SAD Jambi. Sebelum anak-anak SAD Jambi belum maju, saya belum puas, teruratama tentang ilmu pengetahuan agama Islam,” tegasnya.