Hakikat Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanah dari Allah SWT yang kelak pasti dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Kepemimpinan sesungguhnya bukanlah hal yang memikat sehingga pantas didamba-damba, diharap-harap, apalagi dikejar-kejar. Karena manakala amanah itu jatuh ke tangan kita, maka tanggungjawab besar sedang kita pikul.
Kepemimpinan juga bukan ajang pamer kekuasaan. Bukan kesempatan memperkaya diri dan keluarga. Rasulullah saw beserta para sahabatnya menunjukkan kepemimpinan adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah. Yakni dengan jalan membaktikan diri bahkan hidupnya bagi kepentingan umat.
Oleh karena itu, dalam lembaran sejarah kita menemukan betapa baginda Rasulullah dan para sahabat rela tersita waktu istirahatnya, rela terjaga di waktu-waktu malam saat orang lain tertidur hanya untuk memastikan rakyatnya istirahat dalam keadaan aman. Rasulullah dan para sahabat merupakan para pemimpin yang senantiasa mendahulukan kepentingan umatnya daripada diri sendiri dan keluarganya. Karena menjadi pemimpin berarti siap berkorban demi kepentingan yang lebih besar. Menjadi pemimpin berarti kesiapan melayani yang dipimpinnya, bukan kesiapan untuk dilayani oleh yang dipimpinnya. Masya Allah!
Imam al-Mawardi menerangkan kepemimpinan dalam Islam memiliki tujuan yang amat mulia. Yaitu likhilafatin nubuwwah fii harasatid diin wa siassatid dunyaa, untuk melanjutkan misi kenabian dalam menjaga dan mengamalkan agama, dan untuk memimpin atau mengatur urusan manusia di dunia. Artinya, kepemimpinan dalam Islam bukanlah hanya urusan horizontal seseorang dengan sekelompok orang yang dipimpinnya, melainkan juga urusan seseorang secara vertikal dengan Rabb-nya.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisaa [4]: 59).
Maka konsekuensinya, seorang pemimpin mestilah sosok yang bisa dijadikan panutan dalam ketaatan kepada Allah. Karena ketika Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati pemimpinnya, maka ketaatan tersebut bukanlah ketaatan dalam kemaksiatan, bukan ketaatan dalam kejahatan, bukan ketaatan dalam kemunkaran. Melainkan ketaatan dalam kebaikan dan kebenaran, ketaatan yang ada dalam keridaan Allah SWT.
Karena jangankan seorang pemimpin umat yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan kita, perintah orangtua kita pun jika isinya adalah perintah berbuat kemunkaran, maka tidak boleh kita taati. Karena Allah berfirman, “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. al-Ankabut [29]: 8).
Menjadi seorang pemimpin bukanlah urusan ringan. Karena menjadi pemimpin hakikatnya tidak hanya melakukan kontrak atau perjanjian dengan yang dipimpinnya, melainkan juga perjanjian dengan Allah. Tidak heran, para pemimpin yang mengurusi berbagai bidang di negeri kita selalu dilantik atau diangkat melalui pengucapan ikrar sumpah berdasarkan agama. Maka, kepemimpinan adalah urusan yang berat, tidak boleh seseorang yang sudah diangkat sebagai pemimpin malah mempermainkannya.
Telah banyak kita saksikan bagaimana orang yang diamanahi sebagai pemimpin malah mengkhianati amanahnya itu dengan berbuat korupsi. Dia sibuk mencari cara untuk memperkaya dirinya sendiri, ia angkat orang-orang terdekatnya, keluarganya, teman-temannya untuk menduduki posisi-posisi strategis, padahal mereka tidak memiliki kapabilitas. Hal itu tiada lain demi memuluskan rencananya meraup kekayaan yang jelas-jelas bukan haknya. Inilah tipe pemimpin yang mendapatkan murka Allah.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan tangan kanannya, maka Allah telah mewajibkan neraka baginya dan mengharamkan surga untuknya. Maka seseorang bertanya, “Sekalipun barang sedikit wahai Rasulullah?” Maka beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang siwak.” (HR. Muslim).
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, “Siapa di antara kamu yang kami serahi tugas amal, lalu menyembunyikan (mencuri) jarum dan yang lebih dari itu dari kami, maka itu termasuk ghulul (kecurangan) yang akan dia pikul pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim).
Menjadi pemimpin itu memang bukan urusan ringan, tetapi bukan berarti kita sebagai umat Islam mesti menjauhinya. Apalagi jika sampai urusan kepemimpinan ini jatuh kepada mereka yang berbeda akidahnya dan memusuhi Islam. Kita mesti peduli pada urusan ini, sehingga Islam, kaum muslimin dan umat manusia pada umumnya hidup dalam ketenteraman.
Karena, Islam mengajarkan kepemimpinan yang adil bijaksana. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan bahwa manakala kepemimpinan didasarkan pada syariat Islam, dikelola orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kehidupan yang aman dan nyaman menjadi milik semua orang, bahkan termasuk orang-orang non-muslim sekalipun yang hidup di dalam naungannya. Masya Allah!
Allah SWT menjamin kebahagiaan dan kemenangan bagi pemimpin yang melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik. Rasulullah menyampaikan banyak sekali keutamaan bagi para pemimpin yang adil, di antaranya adalah seperti dalam sabda beliau, “Ahli surga ada tiga macam, yaitu orang yang mempunyai kekuasaan pemerintahan yang berlaku adil dan dikaruniai taufik oleh Allah, juga seorang yang memiliki sifat penyayang dan lembut hati kepada keluarga dekatnya dan setiap muslim, serta seorang yang menahan diri dari meminta-minta dan berusaha untuk tidak meminta-minta, sedangkan ia mempunyai keluarga banyak (dan dalam keadaan miskin).” (HR. Muslim).
Jadi, kepemimpinan bukanlah urusan yang patut diburu jika kita memahami hakikatnya, yaitu sebagai sebuah amanah yang besar. Namun, manakala amanah itu datang kepada kita, kepercayaan umat menghampiri kita, maka tunaikanlah dengan segenap kerendahan hati, tanggung jawab dan keimanan kepada Allah SWT. Karena sesungguhnya kepemimpinan datang dan pergi dari tangan kita mutlak ada dalam kekuasaan Allah.
Allah berfirman, “Katakanlah: ‘Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Ali Imran [3]: 26). (KH. Abdullah Gymnastiar)