Homeschooling untuk SMK, Pilihan Bijak Para Orangtua

Sudah bukan rahasia lagi jika dunia pendidikan kita rentan dengan kekerasan. Baik itu berupa bullying hingga tawuran. Nyaris di setiap jenjang sekolah (SD, SMP, dan SMA) tidak lepas dari siklus kekerasan itu. Apalagi bagi mereka yang bersekolah di SMK, praktik bullying maupun tawuran seakan identik dengan sekolah kejuruan tersebut. Oleh karenanya, kini mulai muncul kesadaran dari masyarakat (khususnya para orangtua) untuk mengadakan pendidikan mandiri di rumah atau homeschooling untuk SMK.

Bahkan, tidak sedikit orangtua yang memutuskan memulai homeschooling sejak anaknya berusia tujuh tahun atau setingkat SD. Kalau pun ada yang memulainya ketika masa SMK atau SMA, biasanya karena pertimbangan kejenuhan anak belajar di sekolah formal, atau karena faktor yang telah diungkap di awal tulisan ini. Yakni faktor gagalnya sekolah formal memberi kenyamanan dan keamanan bagi siswa-siswanya, sehingga proses bullying dan tawuran seakan jadi tradisi.

Selain faktor kenyamanan dan keamanan, ada juga orangtua meyakini sekolah formal kurang optimal mengembangkan potensi kecerdasan peserta didiknya. Pandangan ini mengacu pada salah satu teori psikologi pendidikan (Multiple Intelligences, Howard Gardner) yang menemukan bahwa ada setidaknya 8 tipe kecerdasan pada manusia. Tipe kecerdasan itu adalah kecerdasan verbal/bahasa, numerik/matematikal, spasial/visual, intrapersonal, interpersonal, musikal, kinestetik, dan lingkungan/naturalis.

Setiap anak lazimnya memiliki satu atau beberapa kombinasi kecerdasan yang menonjol. Jadi, kecerdasan tidak hanya terukur dari mereka yang cerdas secara verbal atau numerik, karena masih ada tipe-tipe kecerdasan yang lainnya. Sayangnya, hal tersebut kurang tergali dan teraktualisasikan oleh sekolah formal. Kurikulum pendidikan di sekolah formal lazimnya hanya mengembangkan dan mengapresiasi mereka yang cerdas secara verbal dan numerik. Hal inilah yang jadi bahan evaluasi para orangtua, dan kemudian memilih homeschooling sebagai upaya mengoptimalkan kecerdasan anak-anaknya. Tidak dibatasi hanya pada kecerdasan verbal dan numerik.

Begitu pun ketika menyusun materi ajar yang akan diberikan. Orangtua yang memutuskan homeschooling untuk SMK bagi anaknya, akan cermat mengenali tipe kecerdasan anaknya tersebut. Jika ditemukan anaknya itu memiliki kecerdasan spasial, maka ia bisa diarahkan misalnya pada dunia otomotif. Kurikulum yang disusun pun akan menitikberatkan pada bakat atau kecerdasannya tersebut agar terasah maksimal.

Kalau pun orangtua mengalami kesulitan memetakan tipe kecerdasan anaknya dan membuat kurikulum homeschooling yang tepat, bisa mencari bantuan ke lembaga pendidikan homeschooling profesional.

Legalitas Homeschooling
Meski perkembangan homeschooling di Indonesia dalam beberapa tahun ini sangat signifikan, tapi masih banyak masyarakat atau para orangtua yang belum mengetahuinya. Pertanyaan seperti homeschooling itu apa, atau apakah homeschooling legal atau tidak, sering mengemuka.

Khusus pertanyaan mengenai legalitas homeschooling, sering jadi ‘batu sandungan’ para orangtua ketika berniat memilih homescholing. Ada kekhawatiran jika metode pendidikan ini tidak legal, lalu bagaimana masa depan anaknya nanti ketika hendak melanjutkan kuliah atau melamar pekerjaan yang mensyaratkan ijazah pendidikan. Ada pun ijazah hanya bisa didapatkan dari lembaga sekolah yang legal atau diakui pemerintah.

Ternyata, kekhawatiran ini tidak beralasan. Pemerintah melalui Dinas Pendidikan (Diknas) telah memberikan legalitas keberadaan homeschooling, berupa peraturan yang mensahkan homeschooling sebagai alternatif pendidikan selain sekolah formal. Bahkan sejak tahun 2011, peserta homeschooling bisa mengikuti Ujian Negara untuk memperoleh ijazah resmi. Jadi, tertarik segera memulai homeschooling untuk SMK? (daaruttauhiid)