Kisah Guru Berceramah dan Santri Ngiklan

Suatu sore tepatnya pada kajian al-Hikam, seorang guru mempersilakan santrinya untuk bertanya. Seorang santri dengan sigap mengacungkan tangannya dan mohon ijin bicara. Sang guru pun mempersilakan.

Bukannya mengajukan pertanyaan, ternyata santri ini malah memanfaatkan momen langka tersebut untuk mempromosikan dagangannya. Otomatis sang guru sebagai kiai menjadi ‘bintang iklannya’. Begini dialog antara guru dan santri tersebut:

Guru: “Ayo silakan ada yang mau bertanya?”

Santri: “Santri mohon izin bicara.”

Guru: “Ya silakan.” (tanpa disadari dari kalimat santri saja sudah jelas, izin bicara bukan izin bertanya)

Santri: “Mohon doanya, kami dari santri sedang ikhtiar jualan di depan Mini Market Pesantren. Kami sudah meminta izin pada pihak yang berwenang.”

Guru: “Minta izin sudah, masalahnya diizinkan tidak? Kita ini kadang minta ini minta itu. Seorang ikhwan misalnya minta akhwat yang salihah, baik, dan lain-lain. Minta saja, padahal masalahnya yang diminta mau enggak, hmm…” (sang guru mulai menahan tawa)

Santri: “Sudah Guru, sudah diizinkan, ini minta doa sekaligus izin dari guru selaku pimpinan pesantren. Oh ya guru, ini ada produk kami buat guru.” (bergerak sambil memberikan dua buah kemasan produk)

Guru: “Apa ini?”

Santri: “Salad buah, guru.”

Guru: “Mengapa dua? Apa karena amanah saya dua? Atuh saya tidak kebagian.” (sang guru mulai tertawa)

Santri: “Bukan guru, itu dua yang satu ada pepayanya yang satu tidak ada pepayanya. Sengaja dibedakan karena sebagian besar pembeli kurang menyukai pepaya.”

Guru: “Oh begitu, terus mengapa ini merknya ‘Sabar’?

Santri: “Iya guru nama merknya sengaja dipilih sabar, agar kalau pun tidak laku kami para santri ini mau sabar. Kalau tidak sabar malu sama merk dagangan sendiri.”

Guru: “Ya ini bagian ikhtiar saya bantu promosikan secara langsung. Perkara laku atau tidak laku itu murni kehendak Allah. Dan saya juga harus sabar ini, mempersilakan santri untuk bertanya malah dimanfaatkan untuk ngiklan. Kalau santri malu sama merknya, kalau guru malu sama isi ceramahnya.” (tawa sang guru pun tak bisa ditahan lagi karena tanpa sadar ‘dikerjain’ santrinya) (daaruttauhiid)