Sedekah, Jalan Memperoleh Indahnya Hidayah

Hidup itu adalah pilihan… Setiap orang bebas memilih dan menentukan ke mana arah langkah hidupnya. Namun, tidak ada yang bebas menentukan konsekuensinya. Demikian halnya pilihan menjadi seorang mualaf, merupakan keputusan hidup yang harus saya jalani. Setelah beberapa tahun membina biduk rumah tangga, ada sesuatu yang hampa di jiwa ini. Apakah menjadi seorang muslim adalah jalan terbaik yang saya pilih? Keraguan dalam hati mulai membuncah.

Memang, pada awal mulanya tujuan saya menikah adalah agar kelak dapat membawa suami untuk masuk ke agama keyakinan saya saat itu. Saya dilahirkan di Medan dalam lingkungan keluarga nasrani yang taat. Jadi, terhitung mudah jika hendak mempengaruhi suami yang pemahaman keagamaannya masih kurang. Hingga, saya dihadapkan pada suatu ujian kehidupan yang menjadi titik balik dalam memahami makna hijrah dan merasakan indahnya hidayah dari Allah SWT.

Perbedaan Prinsip dan Pilihan Hidup
Sarana rumah tinggal yang indah, mobil, dan segala fasilitasnya sudah menjadi bagian keseharian dalam rumah tangga saya. Tidak hanya itu, tiga buah hati yang sehat, cantik, dan pintar pun sudah menghiasi kebahagiaan di dalam keluarga. Kemudahan rezeki yang Allah titipkan menjadi pelengkap dalam rumah tangga ini. Saya adalah perempuan beruntung dan sangat berbahagia.

Kami mengawali karir di kota kelahiran saya, Medan. Kemudian berpindah tugas ke Aceh dan selanjutnya pindah lagi, dan kebahagiaan kami berlabuh di Kota Bandung. Kota Kembang ini pun menjadi saksi bagaimana episode suka duka dalam kehidupan rumah tangga saya bermula.

Dengan pemahaman Islam yang masih seumur jagung, saya belum memahami makna Islam sesungguhnya. Kesibukan suami yang sering ke luar kota, semakin menambah kehampaan nilai Islam saya. Kembali, saya dihadapkan pada niatan awal ketika menikah. Apakah ini saat yang tepat untuk mengajak suami dan anak-anak agar kembali ke agama saya yakini sebelumnya? Ah, saya masih ragu!

Dalam kegamangan ini, akhirnya saya berniat untuk memasukkan anak-anak ke sekolah Islam ternama di Bandung. Bahkan sepulang sekolah, mereka saya ikutkan kegiatan pengajian di masjid dekat rumah. Saya melakukan hal tersebut dikarenakan sedari kecil saya sudah terbiasa mendapatkan pengajaran agama yang lebih dari cukup di keluarga. Kini, dalam agama Islam yang saya sendiri masih ragu, saya ingin agar anak-anak juga mendapatkan pelajaran agama yang intens sejak kecil, agar kelak kemudian hari punya pondasi yang kuat.

Namun, apa yang saya inginkan tersebut ternyata pemahamannya berseberangan dengan suami. Beliau ingin agar anak-anak beraktivitas seperti biasa dan tidak terlalu terbebani dengan belajar agama lebih banyak, biarlah tumbuh biasa-biasa saja. “Biarkan mereka bermain, berkembang bersama dengan teman seusianya, tidak dibebani dengan hafalan dan ajaran Islam,” ujarnya saat itu. Kembali, saya dihadapkan pada dilema yang saya pilih.

Lambat laun, hubungan kami berangsur-angsur menjadi hambar. Kehangatan dan keceriaan suami mulai berkurang. Kebersamaan bersamanya semakin jarang. Sejak saya mengenal beliau, mulai ada hal-hal sangat berbeda yang saya rasakan. Setelah sekian lama menahan rasa penasaran dan keingintahuan, akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya.

Ternyata, saya mendapatkan jawaban yang tidak pernah saya pikirkan selama menikah dengannya. Dia yang saya kenal baik, ramah, dan penyayang, kini memiliki tambatan hati yang lain. Arghhh! Bagai disambar petir di siang bolong. Saya menangis dan tak tahu harus bagaimana. Apalagi ada perkataan yang semakin membuat saya terpuruk, ia ingin bercerai dan meninggalkan saya beserta anak-anak.

Secercah Cahaya Ilahi
Saya benar-benar merasa rapuh ketika itu. Kepada keluarga saya tidak mungkin mengadu. Kepada keluarga suami pun saya sungkan. Kepada Allah saya merasa tidak dekat. Benar-benar saya merasa berada di jurang keputusasaan. Semua kebahagiaan hidup rasanya sirna. Benar-benar hilang tak berbekas. Di saat saya terpuruk, Alhamdulillah seberkas cahaya kasih sayang Allah menyinari hati dan jiwa ini. Tiba-tiba ada seorang teman di kantor mengajak untuk ikut ke pengajian di salah satu ustaz di Kota Bandung.

Saya tertarik dan mencoba berbagi serta mencari solusi tentang permasalahan yang sedang dialami. Sejak terjadi peristiwa ini, saya tidak berani mengadukan apa yang saya alami kepada siapa pun, termasuk teman dekat di kantor. Di sana, kami disambut hangat, diberi nasihat, didoakan dan lalu kami disuruh pulang. Ustaz tersebut hanya berpesan, ”Ini adalah awal dari permulaan hijrah. Tugas Anda perbanyak istigfar, berzikir, salat wajib di awal waktu, dan tahajud teratur. Apabila ada hal membuat bingung, silakan telepon saya saja.” Mendengar pesan ustaz tersebut, dalam hati saya berkata, “Apaan itu hijrah? Aah… masa bodo.”

Saya bingung, jauh-jauh saya kemari, tapi cuma diberi jawaban seperti itu. Belum juga saya menceritakan semua masalah yang saya alami. Saya benar-benar bingung. Namun, di tengah kebingungan itu, saya melakukan apa yang beliau sarankan. Saya mulai beristigfar terus memohon ampun atas dosa dan khilaf selama ini, kemudian rajin tahajud, berzikir, dan sedikit-demi sedikit saya berusaha mengingat Allah SWT dalam tiap kesempatan. Saya mulai mengadukan permasalahan ini kepada Allah. Ya! Kepada Tuhannya umat Islam yang saya tidak pernah kenal.

Setelah beberapa bulan saya mengamalkannya, hati saya masih merasa hampa. Kemudian saya memberanikan diri untuk menelepon ustaz tersebut. Ternyata, via telepon ia mendengarkan keluh kesah saya yang tidak adanya perubahan. Ia pun menyarankan terlebih dahulu melakukan amal saleh yang ringan-ringan saja, yaitu dengan berbuat baik pada sesama. Misalnya, bersikap ramah, murah senyum, dan menyapa siapa pun, serta berusaha membantu baik hal-hal yang kecil. Dan dilarang mengeluh, apalagi menunjukkan kesedihan.

Kembali saya melakukan apa yang beliau sarankan. Beberapa bulan berlalu, masih! Saya masih mengalami kehampaan yang mendera jiwa ini. Kembali saya menelepon ustaz yang sudah saya anggap sebagai sosok guru spiritual itu. Akhirnya, ia memberikan satu jawaban yang menurutnya merupakan solusi final dari semua masalah saya. Beliau menyarankan untuk rajin bersedekah. “Berikan harta yang terbaik, bukan uang sisa yang engkau miliki,” ujarnya.

Saya disarankan memberikan harta terbaik yang dipunya. Pada saat itu, kebetulan saya mendapatkan bonus 4 juta rupiah dari kantor. Saya langsung berpikir, memberikan setengahnya untuk sedekah. Lalu, 2 juta itu saya bagi menjadi 20 ribuan, hingga berpuluh-puluh amplop. Pada saat itu (tahun 2004), uang 20 ribu memiliki nilai yang lumayan besar untuk saya.

Kemudian, saya berangkat ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, rumah sakit umum di Kota Bandung. Tujuan saya adalah mencari bangsal orang-orang yang tidak mampu. Ketika melangkah memasuki bangsal tersebut, saya merinding. Ini karena saya melihat kondisi anak-anak yang sangat prihatin, orang dewasa, dan juga yang sudah sepuh tergeletak tak berdaya dengan segala kesusahannya. Tidur beralaskan tikar, terlihat sangat menderita.

Tak kuasa air mata saya menetes. Ya Allah… betapa beruntungnya saya, tidak seperti mereka. Ujian yang saya alami saat ini, tidak sebanding dengan kemiskinan hidup dan penderitaan penyakit yang mereka terima. Sembari mengusap air mata, saya membagikan amplop tersebut kepada mereka dan mengucapkan, “Ada yang menitipkan rezekinya untuk Anda.”

Kemantapan Hati
Sejak kejadian itu, entah kenapa hati saya mulai merasa tenang, nyaman, damai dan saya bersama anak-anak semakin kuat menjadi tim yang solid. Saling bahu-membahu dalam mengatasi berbagai kendala secara bersama-sama. Saya pun berniat ingin meminta jawaban terakhir berkaitan masalah yang saya hadapi kepada Allah SWT di Tanah Suci. Ya… saya ingin berhaji.

Pada 2004 saya putuskan berhaji sekaligus memohon petunjuk dan berdoa di Arafah. ”Yaa… Allah apabila Engkau masih memberikan kesempatan kepada kami untuk bersatu kembali dalam membina keluarga sakinah, maka persatukan hati kami, dan apabila yang terbaik menurut-Mu kami berpisah, maka berikan hamba kekuatan agar mampu dalam menghadapi berbagai rintangan, beri keikhlasan, dan bangkit menjadi manusia penuh berkah dan manfaat, serta menjadi haji yang mabrur.”

Alhamdulillah, Baitullah tempat saya bersujud dan merasakan kedamaian di hati. Pupus sudah keinginan untuk kembali kepada agama sebelumnya, atau mempengaruhi suami dan anak-anak untuk berpindah keyakinan. Saya bahagia menjadi seorang muslim. Inilah jalan dan pilihan hidup yang saya cari dan sudah saya temukan sehingga tak ada seorang pun yang dapat menggoyahkannya. Kemudian semakin mantap untuk bersikap terhadap suami yang telah meninggalkan saya dan anak-anak.

Sepulang dari haji, saya memutuskan bercerai, dan bersiap menjadi single parent tepat pada 2005. Setelah sekitar tiga tahun merasa terombang ambing dalam kegelisahan, cinta dan asa saya yang diabaikan olehnya, akhirnya saya mendapatkan petunjuk dari Allah SWT yaitu ketenangan dengan keputusan yang dipilih ini. Kini, hampir 13 tahun telah berlalu, sedekah dan berbagi tidak pernah saya lewatkan. Menjadi ibu asuh untuk anak-anak yang kurang mampu di lingkungan sekitar adalah kebahagiaan yang tiada bandingnya. Ya Allah, terima kasih atas hidayah dan kebahagiaan yang kini Engkau titipkan, untuk saya dan tiga anak-anak saya.

[Oleh :Rosiana Poerba, Sumber Foto : Suarahati.org]