Lezatnya Buah Istiqamah

Manusia sebagai makhluk terbaik yang diciptakan di muka bumi, dibebankan kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala. Bahkan ibadah menjadi tujuan mulia penciptaan manusia. Tetapi selain segala kelebihan itu, manusia pun dilengkapi berbagai kelemahan. Iman yang menancap di dadanya sering naik dan turun.

Maka berkomitmen untuk senantiasa dalam jalan kebaikan merupakan perkara sulit dan telah menjadi pembahasan ulama sejak zaman dahulu. Tetapi jika seorang beriman telah menikmati lezatnya istiqamah, maka dia akan merasakan manisnya buah istiqamah. Buah istiqamah inilah yang dicari semua muslim dalam hidupnya.

Ketenangan

Keimanan seorang muslim yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan istiqamah dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqamah sendiri akan melahirkan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Meskipun ia melalui rintangan hidup yang panjang, melewati terjal perjuangan, dan menapak tilas lika-liku belantara hutan perjuangan.

Karena ia yakin bahwa inilah jalan yang pernah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang agung yaitu para nabi, rasul, dan generasi terbaik setelahnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ نَّبِيٍّ قٰتَلَ ۙ مَعَهٗ رِبِّيُّوْنَ كَثِيْرٌ ۚ فَمَا وَهَنُوْا لِمَآ اَصَابَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَمَا ضَعُفُوْا وَمَا اسْتَكَانُوْا ۗ

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ ﴿آل عمران : ۱۴۶

Artinya: “Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 146).

Keberanian

Muslim yang selalu istiqamah dalam hidupnya akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala rintangan dalam ibadah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Orang yang telah menikmati lezatnya istiqamah dalam hatinya, akan beda dengan orang yang terjangkit penyakit nifaq. Yakni orang yang senantiasa menimbulkan kegamangan dan melangkah dalam ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan hidup. Allah Ta’ala berfirman:

فَتَرَى الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ يُّسَارِعُوْنَ فِيْهِمْ يَقُوْلُوْنَ نَخْشٰٓى اَنْ تُصِيْبَنَا دَاۤىِٕرَةٌ ۗ

فَعَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّأْتِيَ بِالْفَتْحِ اَوْ اَمْرٍ مِّنْ عِنْدِهٖ فَيُصْبِحُوْا عَلٰى مَآ اَسَرُّوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ نٰدِمِيْنَ ۗ ﴿المائدة : ۵۲

Artinya: “Maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS. al-Maidah [5]: 52).

Kita juga bisa melihat keberanian para sahabat dan para mujahid dalam hal ini. Ketika Rasulullah menawarkan pedang kepada para sahabat dalam Perang Uhud, seketika Abu Dujanah berkata, “Aku yang akan memenuhi haknya, kemudian membawa pedang itu dan menebaskan ke kepala orang-orang musyrik.” (HR. Muslim).

Contoh lain, saat seorang sahabat menjawab perkataan dari Rasulullah bahwa ia masuk surga jika mati terbunuh dalam medan pertempuran. Maka dia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya lagi seraya melempar kurma yang ada di genggamannya. Kemudian ia meluncur ke medan pertempuran dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan yaitu, syahadah (mati syahid). (Muttafaq ’Alaih). (Gian)

ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi