Memahami Zuhud dan Materialisme

Alkisah tersebutlah ulama besar bernama Syekh Muqaddis al-Ardabili, seorang ulama yang terkenal ahli ibadah dan zuhud. Suatu saat ia hendak mengambil air wudhu di sumur umum yang hanya diterangi “lampu cempor” remang-remang. Setelah memasukan timba dan kemudian menariknya ke atas, sesuatu yang menakjubkan terjadi. Ember yang seharusnya berisi air ternyata dipenuhi bong­kahan batu permata dan memantulkan sinar lampu cempor.

Syekh Muqaddis tercengang dan beristighfar, kemudian menurunkan lagi timba­nya. Kali kedua dan ketiga ia menurunkan timba dan menariknya kembali, tetapi tetap batu permata yang memenuhi timbanya. Setelah beristighfar, ia berdoa, “Ya Allah, hamba hanya membutuhkan air untuk menyucikan diri agar dapat beribadah kepada-Mu.” Kali keempat ia menurunkan timba kemudian mena­riknya ke atas, dan barulah air yang didapat­kannya. Ia pun bersyukur dan merasa berbahagia.

Kisah tersebut menunjukkan sikap seorang yang zuhud terhadap dunia, yang jika kita cari saat ini, tipe orang tersebut seolah mustahil ditemukan. Namun yang terpenting adalah hikmah kisah itu, yaitu bagaimana kita harus mulai membangun diri kita agar memiliki sikap zuhud. Mengapa? Karena zuhud yang menyebab­kan segala keutamaan dapat diraih.

Di antaranya sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Siapa yang mencintai dunia kemudian keinginannya bertumpuk-tumpuk, Allah akan membutakan hatinya setingkat cintanya kepada dunia. Dan barang siapa yang zuhud terhadap urusan dunia, Allah akan berikan baginya ilmu tanpa harus belajar, petunjuk tanpa ada orang yang menunjuki, Allah hilangkan hatinya dari kebutaan dan akan diberikan kepadanya penerangan (bashirah).”

Ketika ditanya seorang sahabat tentang pengertian zuhud, Ali bin Abi Thalib ra me­minta orang tersebut membaca al-Quran surah al-Hadid [57] ayat 23, yang artinya: “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput (tidak kamu dapatkan) dan supaya kamu tidak terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan Allah (rezeki) kepadamu.” Maksudnya, orang-orang zuhud akan menganggap memiliki atau tidak memiliki harta adalah sama. Bagi mereka permata dan debu nilainya sama, dan jika tidak bermanfaat atau tidak digunakan tidak ada nilainya sama sekali.

Zuhud tidak identik dengan kemis­kinan, karena mungkin saja ada orang yang memiliki harta tetap menyikapi hartanya dengan zuhud. Begitu pula tidak sedikit orang miskin yang mencintai dunia, tetapi karena tidak memilikinya, terkadang bersikap seolah dia zuhud. Fariduddin Atthar adalah contoh se­orang kaya dengan toko permatanya, tetapi kemudian ia terkenal menjadi menjadi seorang yang sangat zuhud dan menyerahkan hartanya untuk dikelola orang lain.

Oleh karena itu, zuhud adalah sikap seseorang yang meng­guna­kan rezeki (harta) dari Allah secara benar. Ia memerlukan harta jika ia memiliki keper­luan menggunakannya (to be) bukan untuk memilikinya (to have). Dengan demiki­an dapat dikatakan sikap zuhud sangat berlawanan dengan materialisme. Menurut seorang ustaz, kita adalah seorang yang “matre” (materialis) jika dalam diri kita masih ada sikap: 1) possesiveness (rasa ingin memiliki bukan ingin menggunakan); 2) bakhil (kikir); 3) senang untuk membeli (konsumer­isme); 4) mudah tersinggung; 5) susah bahagia; 6) hubungan sosial kurang; 7) lebih cepat depresi dan susah disembuhkan jika mengalami depresi.

Sikap zuhud merupakan sesuatu yang harus dibangun dalam diri kita. Dengan sikap ini kita akan terhindar dari sikap “al-Wahn”, yaitu cinta dunia dan takut mati yang telah atau akan menyebabkan kaum muslim tercabik-cabik dan menjadi permainan “kaum” lain.

Selain itu, sikap zuhud sangat dipengaruhi tingkat keimanan seseorang. Seorang yang memiliki keimanan tinggi akan lebih dekat kepada sikap zuhud. Oleh karena itu, orang yang zuhud akan men­dapatkan hal-hal berikut ini:

1) Khusyunya ibadah; 2) Terbukanya pintu kebaikan; 3) Mendapatkan ma’rifat, ilmu tanpa belajar, petunjuk tanpa dipelajari; 4) Diper­lihatkan oleh Allah keburukan dirinya, sehing­ga dapat diperbaiki sebelum orang lain mengetahuinya; 5) Dianugerahi hikmah; 6) Dilapangkan hatinya; 7) Diringankan dirinya dari musibah; 8) Diberikan kepadanya ke­kuatan supranatural (khaariqul ‘aadah).

Sikap zuhud dapat secara efektif menye­lesai­kan permasalahan kita, khususnya bangsa Indonesia yang sedang dirundung masalah yakni cinta dunia yang melahirkan keingin­an korupsi. Begitu pula sikap ini jika dimiliki semua umat Islam, akan tercipta persatuan dan persaudaraan yang kokoh. Karena, sebagai­mana dikatakan al-Ghazali bahwa umat Islam mengalami keter­pecahan setelah datang­nya kekayaaan. Maksud­nya, umat Islam pernah saling berebut kekuasaan yang berujung kepada penguasaan harta sebanyak-banyaknya. Dengan demikian sudah sepantas­nya kita sekarang memandang permata seperti kita menyikapi debu, agar kita tidak mudah tertipu dan jadi bersatu. (daaruttauhiid)