Mencermati Metode Berdakwah

Sebagai umat terbaik untuk manusia, umat Islam dibebani kewajiban memperbaiki keadaan lingkungan masyarakatnya dengan dakwah. Oleh karena itu, muslim yang baik bukan hanya peduli akan kesalehannya pribadi, melainkan juga kesalehan lingkungan sekitarnya. Dengan dakwah yakni menyeru manusia kepada jalan Allah, mercusuar peradaban yang pernah digenggam umat Islam hanya menunggu waktu diraih kembali.

Allah SWT berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ﴿النحل : ۱۲۵﴾

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]: 125).

Dalam ayat ini seperti Tafsir Kemenag RI menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan-Nya. Jalan Allah di sini maksudnya ialah agama Allah yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah SWT meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.

Dakwah untuk Allah Semata
Pertama, Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan menuju rida-Nya, bukan dakwah untuk pribadi. Rasulullah diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah semata.

Kedua, Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya agar berdakwah dengan hikmah. Arti hikmah ialah pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu, yakni pengetahuan itu memberi manfaat. Dakwah dengan hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu ilahi, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar mudah dipahami umat.

Ketiga, Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya agar dakwah itu dijalankan dengan pengajaran yang baik, lemah lembut, dan menyejukkan, sehingga dapat diterima dengan baik. Tidak patut jika pengajaran dan pengajian selalu menimbulkan rasa gelisah, cemas, dan ketakutan dalam jiwa manusia.

Orang yang melakukan perbuatan dosa karena kebodohan atau ketidaktahuan, tidak etis jika kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka di hadapan orang lain sehingga menyakitkan hatinya. Khutbah atau pengajian yang disampaikan dengan bahasa lemah lembut, sangat baik untuk melembutkan hati yang keras dan lebih banyak memberikan ketenteraman daripada khutbah dan pengajian yang isinya ancaman dan kutukan-kutukan mengerikan.

Namun demikian, menyampaikan peringatan dan ancaman dibolehkan jika kondisinya memungkinkan dan diperlukan. Untuk menghindari kebosanan dalam pengajiannya, Rasulullah menyisipkan dan mengolah bahan pengajian yang menyenangkan dengan bahan yang menimbulkan rasa takut.

Dengan demikian, tidak terjadi kebosanan karena uraian pengajian yang berisi perintah dan larangan, dipadukan dengan bahan pengajian yang melapangkan dada atau merangsang hati untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan.

Keempat, Allah menjelaskan bahwa jika terjadi perdebatan dengan kaum musyrikin atau pun ahli kitab, hendaknya Rasulullah membantah mereka dengan cara yang baik. Perdebatan yang baik ialah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat negatif manusia, seperti sombong, tinggi hati, dan berusaha mempertahankan harga diri karena sifat-sifat tersebut sangat tercela. (Gian)

ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi