Mengapa Tidak Bahagia?

Kebahagiaan, kesenangan, kesedihan, kekecewaan, dan juga kemarahan merupakan produk mental yang diproduksi oleh beberapa bagian otak sekaligus. Respons seorang manusia terhadap kondisi yang dihadapinya bergantung kepada persepsi yang dihasilkan oleh kerja sama antara sistem memori-emosi di sistem limbik dan lobus frontalis di kulit otak yang bertugas mempertimbangkan sikap terbaik. Selanjutnya, stimulan kebahagiaan akan memicu diproduksinya hormon ketenangan (serotonin), kegembiraan (endorfin), dan hormon motivasi (dopamin). Hidup menjadi lebih berwarna dan tentu saja lebih indah.

Bagaimana apabila data dari lingkungan yang diterima adalah data yang menurut persepsi kita buruk?

Sebelum itu marilah kita renungkan, seseorang beranggapan bahwa suatu peristiwa yang berlaku dan melibatkan dirinya adalah hal buruk karena dia memiliki referensi (rujukan) dan preferensi (kecenderungan) dalam menyikapi kondisi tersebut. Kecenderungan itu terjadi karena adanya pengalaman, hasil belajar, dan kemampuan untuk memprakirakan.

Seseorang yang sering terserang flu setelah kehujanan akan mengalami gangguan mood pada saat dia melihat langit kelabu dan awan-awan mendung menggelantung. Dia memprakirakan hujan akan turun dan dia akan sakit! Maka ketika hujan itu kemudian memang turun dan tercurah sangat deras dari langit, orang itu basah kuyup dan benar, dia sakit flu!

Pada waktu yang bersamaan, ada beberapa orang yang kehujanan dan basah kuyup tetap sehat wal ’afiat, bahkan gembira. Anak-anak tukang ojek payung misalnya, dengan riang mereka berlarian di bawah rinai hujan, sekujur tubuhnya basah kuyup, tetapi sesudahnya mereka tetap sehat. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan dan kesakitan seserang, tetapi salah satu faktor terpenting adalah faktor psikologis.

Seseorang yang memiliki kemampuan mempersepsikan setiap masalah yang dihadapinya sebagai suatu stimulus yang ambang batas toleransinya masih bisa dicapai akan melahirkan jaras atau jalur khusus ”optimistik”. Barisan hormon sedih, kecewa, dan putus asa yang semula mendorong pikiran kita untuk ”menyerah” justru berbalik dan merangsang sistem neurohormonal yang bersifat membangkitkan, mendorong, dan gembira untuk bekerja keras mencari penyelesaian (solusi).

Maka, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kurang bahagianya sebagian besar orang—boleh jadi termasuk kita di dalamnya—terkait erat dengan proses pembentukan persepsi yang mempengaruhi cara bertindak. Jika persepsi didominasi oleh pengaruh batang otak dan korpus amigdala di sistem limbik, yang akan terjadi adalah munculnya ketakutan, kecemasan, dan aneka pikiran negatif yang tidak beralasan.

Ini pulalah yang menyebabkan aktualisasi diri menjadi bagian dari profesi yang telah mendapatkan ”akreditas” unggul dari masyarakat seperti dosen, dokter, pengacara, ataupun akuntan, memberikan derajat kebahagiaan yang tinggi. Orang lebih takut pada stigma atau persepsi orang lain terhadap dirinya. Banyak orang berpikir, meski tidak punya uang ’kan saya dosen! Padahal, uang belanja rumah tangga dosen dan yang bukan dosen pun besarannya tidak jauh berbeda!

Kondisi tidak tercekam dalam kecemasan ini justru akan membantu seseorang lebih sehat, lebih produktif dan tentu saja lebih enjoy dalam menjalani kehidupan. (dr. Tauhid Nur Azhar)