Mukjizat Nabi Isa: Hujjah Tak Terbantahkan bagi Para Pembesar

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Imran [3]: 49).

Sejak kecil Nabi Isa as telah menunjukkan perilaku berbeda dengan anak-anak sebayanya. Beliau tampak “haus” untuk terus menambah pengetahuan dan wawasannya, serta menggali ilmu dan hikmah sedalam-dalamnya di balik setiap keadaan dan kejadian yang dialaminya. Sejak usia remaja (sekitar 12 tahun), sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan menuntut ilmu menghadiri pertemuan dan diskusi para ulama di Baitul Maqdis.

Nabi Isa disiapkan Allah SWT dengan profil pribadi dan karakter yang demikian, karena Allah berkehendak mengangkat beliau (di usianya yang ke-30) menjadi Rasul bagi Bani Israil (yang gemar mempertanyakan setiap ketetapan dan kebijakan yang didatangkan kepada mereka). Allah SWT berkehendak memperkuat hujjah Nabi Isa dengan menganugerahkan berbagai mukjizat yang akan menjadi bukti tak terbantahkan atas kebenaran yang beliau sampaikan.

Selain kejadian luar biasa ketika kecil (sejak kehamilan, masa kelahiran, dan kemampuan berdialog sejak kecil) serta ketika dewasa (berupa hidangan dari langit ketika beliau bersama sahabat-sahabatnya mengemban tugas risalah), Allah pun menganugerahinya dengan mukjizat lain secara berturut-turut yaitu menghidupkan orang mati dan membuat burung dari tanah.

Kaum Bani Israil begitu pandainya mengolah kata untuk melemahkan dan menjatuhkan hujjah lawan bicaranya. Mereka memulai dialog dengan mempertanyakan aspek terminologis (apa), epistomologis (bagaimana), dan aksiologis (untuk apa). Puncaknya, mereka meminta bukti-bukti yang mustahil bisa dilakukan oleh makhluk.

Suatu hari, sebagian pembesar Bani Israil mengajak Nabi Isa as untuk menuju ke sebuah pekuburan. Lalu, mereka mengutip sabda Nabi Isa berkaitan dengan hari kebangkitan dan pertanggungjawaban. Menurutnya, kehidupan setelah mati tidak dapat mereka bayangkan oleh karena jasmani orang yang telah meninggal sudah rusak dimakan cacing dan belatung tanah. Maka, mereka membawa Nabi Isa ke sebuah kuburan tua dan memintanya agar membangkitkan mayat yang ada di dalamnya.

Biidznillah, Allah SWT berkehendak menunjukkan Kemahaankuasaan-Nya kepada pembesar Bani Israil. Seketika, Allah memerintahkan mayat agar keluar dari kuburannya dengan tubuh lengkap sebagaimana ketika dia masih hidup, dan berbincang dengan Nabi Isa as serta para pembesar. Seharusnya, kejadian ini membuat para pembesar takdzim kepada Nabi Isa. Namun sayangnya, mereka malah menghentikan dialog mereka dan meminta Nabi Isa as membuktikan tentang proses penciptaan manusia (yang berasal dari tanah), yang juga tidak bisa mereka bayangkan.

Nabi Isa menghadapinya dengan penuh ketenangan. Ia bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan sikap terbaik di dalam menghadapi umatnya tersebut. Lalu, Allah SWT memandu Nabi Isa agar mengambil segenggam tanah, membentuknya (seperti sebuah burung), dan menghembuskan angin ke dalamnya (meniupnya). Tiba-tiba, tanah berbentuk burung tersebut bergerak dan mengepakkan kedua sayapnya (terbang) meninggalkan genggaman tangan Nabi Isa as.

Kedua mukjizat ini menjadi hujjah yang jelas akan kebenaran risalah Nabi Isa. Namun sayang, mereka tidak merendahkan diri di hadapan nabi-Nya. Berbeda dengan masyarakat awam, mereka (yang banyak terbantu oleh bantuan mukjizat Nabi Isa, di antaranya disembuhkan dari penyakit buta dan sopak sejak lahir) mensyukuri semua keajaiban itu, dan mengambil sikap berkhidmat dan menjadi pengikut setianya. Wallahu a’lam. (Ust. Edu)