Persaudaraan Islam

Semangat berkabilah secara tidak sadar telah mengkotak-kotakkan Mekah dari generasi ke generasi. Padahal kita tahu mereka ini pada dasarnya masih dalam rumpun keluarga yang sama. Namun jika ada kehormatan kabilah yang ternodai, mereka tak segan menabuh genderang peperangan. Semangat inilah yang membuat mereka tak pernah bersatu dan selalu menganggap kabilahnya masing-masing yang terbaik, sehingga perkembangan Mekah  dan lebih umumnya Jazirah Arab tertinggal dengan peradaban-peradaban di sekitarnya.

Melawan Fanatisme Kesukuan

Sejak dimulainya dakwah tauhid, para pemimpin kabilah seakan punya alasan bersatu karena menghadapi lawan bersama (Nabi Muhammad saw) yang menjelek-jelekkan tuhan mereka, serta ingin merevolusi sistem feodal yang selama ini membuat mereka nyaman sebagai orang-orang yang terhormat. Namun keadaan berubah ketika Abu Thalib memberikan perlindungan beragama dan berdakwah pada keponakannya yang telah ia asuh sejak kecil itu, dan bahkan di kemudian hari Bani Naufal pun melakukan hal serupa.

Hal yang menarik adalah alasan pemberian jaminan ini pun tak bisa lepas dari semangat kabilah itu sendiri. Sedangkan agama ini tidak menginginkan demikian, bahkan membuang fanatisme jahiliah itu tak bersisa.

Nyatanya fanatisme jahiliah itu telah hancur di hadapan ketegaran aqidah seorang wanita, Fathimah binti al-Khaththab saudara perempuannya. Umar mendapati dirinya kecil dan tiada berarti di hadapan darah yang mengucur dari luka adik perempuannya yang tidak membawa senjata apa-apa.1

Kisah Umar ra memberikan gambaran luar biasanya gelora kabilah itu. Ketika salah satu pamannya (Abu Jahal) direndahkan oleh Hamzah ra, ia bergegas menghunus pedang dan berniat membunuh sumber permasalahan: Muhammad saw. Takdir kemudian menuntunnya pada hidayah dan membawa ‘izzah untuk Islam atas jawaban doa Rasulullah.

Islam dan Pembebasan

Pada dasarnya yang tak diinginkan oleh para pemimpin Mekah adalah gangguan terhadap kekuasaan mereka. Para pemimpin Mekah sudah melihat sendiri bahwa Islam membebaskan budak-budak, memandang semua manusia sama derajatnya, dan menyambut setiap orang dari kabilah dan bangsa mana pun. Kebersamaan dan persaudaraan tidak ditimbang berdasarkan harta, jabatan, bahkan ras. Justru Rasulullah saw menyatupadukan yang mantan budak dan yang bangsawan, yang saudagar kaya dan yang miskin papa, serta mengajarkan mereka bahwa wajah kemanusiaan sudah saatnya membutuhkan persaudaraan universal.

Persaudaraan ini dimaknai atas kesamaan visi dan dasar keimanan kepada Allah SWT. Persaudaraan yang memiliki kesadaran tentang persamaan hak sebagai manusia merdeka, dan yang paling indah ialah saling mendahulukan yang lain dan saling menanggung beban: yang mulia memerdekakan yang budak, yang kaya memberi makan yang fakir, yang kuat melindungi yang lemah. Betapa mulia ajaran agama ini.

Bapakku adalah Islam

Aku tidak memiliki bapak selain Islam;

ketika mereka berbangga

dengan Qais atau Tamim yang menjadi suku-sukunya2

Solidaritas Palestina

Atas dasar persaudaraan Islam itulah sampai kapan pun seorang muslim tidak akan rela melihat saudaranya terjajah. Solidaritas Islam adalah bahan bakar dukungan untuk kemerdekaan bangsa Palestina sampai sekarang. Tapi ada hal menarik yang terjadi saat peringatan 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (22/8) di Gaza tempo hari.

Para santri Baitul Qur’an Daarut Tauhiid ( BQ DT) di Gaza memberikan kado berupa doa dan ucapan selamat untuk Indonesia yang diunggah di YouTube. Para Santri BQ DT berbaris di depan Masjid DT Palestina, yang juga pembangunannya didukung oleh DT Peduli, yang ketika itu namanya Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT). Mereka pun kompak memberikan kado berupa doa, yang dipimpin salah seorang ustaz di sana. (Gian)

Catatan:

  1. Munir Muhammad Al-Ghadban, Manhaj Haraki Jilid 1. Jakarta: ROBBANI PRESS, 2009, hlm. 102.
  2. Yusuf Qardhawi, Kembali Dalam Dekapan Tarbiyah, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2017, hlm. 213.