Pola Makan Orang Modern

Al-Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar penulis kitab Ihya ’Ulumuddin, mengatakan, ”Semua hamba Allah dituntut bertemu dengan Rabb-nya dengan membawa pahala. Namun, itu tidak mungkin semua itu tercapai kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu dan amal tidak mungkin terwujud kecuali dengan badan sehat. Dan, badan yang sehat tidak mungkin hadir tanpa makanan yang layak.”

Apa yang diungkapkan oleh Al-Ghazali ini menyiratkan sebuah pesan tentang besarnya pengaruh makanan terhadap kesehatan fisik dan mental manusia. Kita pun akan dapat dengan mudah berhipotesis, ketika makanan yang kita konsumsi seimbang dan bergizi, kita pun akan lebih sehat, dengan lebih sehat, kita pun akan bisa beraktivitas dengan lebih optimal.

***

Secara umum, makanan itu memiliki tiga fungsi atau manfaat. Pertama, sebagai bahan baku penyokong tumbuh kembang manusia (building block) atau sebagai sarana untuk mengganti dan meremajakan sel-sel yang rusak, khususnya yang berbentuk protein dan lemak; (2) sebagai bahan metabolisme, semisal proses gula menjadi enzim, bahan pembentuk neurotransmitter, dan sebagainya; (3) secara nutrigenomik, bahan makanan dan pola makan pun dapat menentukan profil DNA yang akan diekspresikan, sehingga ungkapan you’re what you eat memiliki dasar ilmiah yang kuat, bukan saja secara fisik tetapi juga perilaku.

Terkait poin ketiga, bahan makanan, cara makan, atau pun pola makan merupakan sebuah sarana untuk melatih gen-gen yang baik agar dapat diekspresikan. Bahan makanan yang tepat dapat menentukan ekspresi DNA-DNA yang baik. Pepatah mengatakan ”orang bodoh menjadikan hidupnya untuk makan, sedangkan orang cerdas menjadikan makan untuk (meningkatkan kualitas) hidup.

Pada tingkat DNA, makanan itu bisa berfungsi sebagai precursor atau pendorong yang berfungsi sebagai bahan baku enzim yang memungkinkan DNA bisa terekspresikan. DNA dapat mengekspresikan sifat-sifat baik apabila DNA tersebut memiliki cukup energy untuk bekerja, dan energi ini didapatkan dari bahan makanan yang tepat. Ketika seseorang menjalani prosesi makan secara baik, dan kemudian diulang menjadi sebuah pola kebiasaan, DNA baik ini cenderung untuk menjadi sensitif dan lebih dominan dibandingkan DNA lainnya. Ibaratnya, atlet yang paling serius berlatih, dialah yang akan paling menonjol dan memenangi pertandingan, seperti itu pula gen-gen yang ada dalam tubuh kita.

***

Kita lihat pola makan orang-orang zaman NOW yang tidak sehat dan didominasi oleh aneka jenis makanan olahan yang mengandung bahan pengawet kimia. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi kualitas kesehatan fisik, tetapi juga perilaku, walaupun kadarnya berbeda-beda antara setiap orang.

Mengapa demikian? Zat-zat aditif dan zat-zat kimia sintetis yang berada dalam makanan olahan memiliki sifat memblok atau mengganggu neurotransmitter di otak. Dia bekerja dengan cara meniru cara kerja neurotransmitter. Efek yang ditimbulkan dari banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat-zat aditif dan zat-zat sintetis ini adalah timbulnya perilaku yang tidak terkendali atau tidak diinginkan, seperti mudah marah, beringas atau loyo. Bahan makanan tertentu seperti terigu, yang banyak terdapat dalam biscuit dan roti, atau susu dan makanan yang mengandung MSG, dapat pula menimbulkan gangguan perilaku pada orang-orang tertentu.

Dalam buku Gut and Psychology Syndrome, Dr. Natasha Campbel McBride menyatakan makanan yang mengandung kasein dan gluten dicurigai dapat mempengaruhi kesehatan usus pada orang-orang tertentu, terutama pada penderita autis. Kasein adalah protein yang terkandung dalam susu dan produk makanan dan oats, misalnya tepung terigu, roti, oatmeal, dan mi instan.

Bagi penderita autis, gluten dan kasein dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna kedua jenis protein ini. Akibatnya protein yang tecerna dengan baik akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid atau opiate. Opioid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin (racun) dan mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas. Itulah mengapa, penderita gangguan perilaku yang terkait dengan gangguan pencernaan seperti autis disarankan untuk menjalani diet bebas gluten dan kasein atau diet GFCF (gluten free and casein free) selama 3-6 bulan.

***

Itu contoh pada anak-anak, khususnya pengidap autisme. Bagaimana dengan orang dewasa?  Jawabnya sama saja, makanan berpengaruh besar terhadap kondisi fisik dan psikologis seseorang. Pola makan yang buruk dan jenis makanan yang kurang bergizi lagi-lagi menjadi biang dari tergangunya kinerja neurotransmitter di otak.

Kita ambil contoh makanan bergenre fast food yang tinggi kadar garamnya. Para ahli masak menemukan bahwa garam yang dihidangkan dalam kondisi panas bisa menambah rasa gurih makanan sebagaimana Chinesse food yang menggunakan MSG. Garamituada yang berbentuk kristal, setengah cair (semi liquid) dan cair (liquid). Garam yang berbentuk Kristal akan menjadi semi liquid jika dipanaskan di atas suhu 100 derajat celcius. Saat dipanaskan, garam akan mengalami perubahan struktur molekul, sehingga cita rasanya tidak menempel di reseptor asin lidah, akan tetapi di reseptor umami yang mendeteksi rasa gurih serta kelezatan makanan.

Maka, jangan heran apabila yang namanya fast food selalu dihidangkan dalam kondisi panas. Penyebabnya adalah karena rasa gurih dari makanan tersebut didapatkan dari garam semi liquid yang dipanaskan. Kalau dihidangkan dalam kondisi dingin, kelezatannya akan berkurang dan rasa asinnya akan sangat terasa.

Disadari atau tidak, dalam suasana kompetitif para produsen makanan, kadar garam yang dibubuhkan ke dalam masakan telah melebihi ambang batas. Alasannya adalah dengan semakin banyak garam yang dibubuhkan, semakin lezat pula cita rasa masakan yang dihidangkan.

Bayangkan kalau seseorang tiga kali dalam sehari makanannya fast food! Apa yang akan terjadi? Kadar garam dalam tubuhnya akan terakumulasi melebihi batas normal. Kondisi ini pada akhirnya akan mendatangkan masalah serius bagi kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Masalah kesehatan tersebut, antara lain: (1) obesitas alias kegemukan; (2) penyakit jantung, diabetes, serta darah tinggi; (3) depresi yang menyebabkan meningkatnya angka bunuh diri. Depresi ini akan menjadikan orang agresif dan mudah melakukan tindakan di luar kendali akal sehat, seperti membunuh atau bunuhdiri. [dr. Tauhid Nur Azhar]