Mengaktifkan Gen-gen Kesalehan

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah dan sudah Islam). Ayah dan ibunya (lingkungannya)-lah yang kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”(HR Al-Bukhari)
Salah satu modal terpenting yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada setiap manusia hadir dalam bentuk DNA (deoksi ribonukleid acid) atau untaian asam nukleat. Siapa pun orangnya, sejak zaman dulu sampai datangnya hari Kiamat nanti, dia pasti memiliki DNA dalam tubuhnya.
Andaikan tubuh manusia itu adalah sebuah bangunan, perencanaan dan proyek lengkapnya hingga ke detail terhalus ada di dalam DNA. Semua tahap perkembangan manusia dalam rahim ibu dan setelah kelahiran berlangsung dalam kerangka program yang telah ditentukan sebelumnya. Dialah “kode-kode rahasia” yang akan memprogram apa dan bagaimana seorang manusia, termasuk tampilan fisiknya, mulai dari rambut beserta warnanya, hidung beserta panjang pendeknya, kulit beserta warnanya, sampai telapak kaki dengan ukurannya.
DNA adalah sumber segala sumber hayati sekaligus cetak biru seorang manusia. Pembentukan kecerdasan intelektual, motorik, dan emosi sangat bergantung kepada kualitas DNA. Demikian pula kualitas kesehatan seorang manusia sangat bergantung kepada kualitas DNA-nya. Sifat biologis pun diturunkan atau diwariskan melalui DNA dan struktur gabungannya yang bernama kromosom. Dengan kata lain, bentuk informasi di dalam DNA akan mengendalikan ribuan operasi dan sistem yang berjalan di dalam sel dan tubuh.
Kerja DNA pada tubuh manusia terbilang sangat unik. Apabila jalur kebahagiaan, kedermawanan, syukur nikmat, dan jalur-jalur kebaikan lainnya menjadi jalur yang sering kita pakai, jalur-jalur itu pun akan menjadi kuat, aktif, dan terlatih. Andaipun kebahagiaan yang didapatnya itu kecil, ia bisa ditingkatkan intensitasnya. Namun sebaliknya, apabila jalur ketakutan, ketidakbahagiaan, keluh kesah, dan kufur nikmatnya yang mendominasi dan senantiasa diaktifkan, gen yang aktif pun adalah gen yang akan mendorong diproduksinya hormon-hormon kecemasan, ketakutan, dan sifat agresif.
Maka, di sini hadir kesatuan. Pada otak orang-orang culas dan gemar maksiat, gen yang aktifnya adalah gen culas dan gen maksiat juga. Adapun pada otak ahli syukur dan ahli kebaikan, gen yang aktifnya pun adalah gen cinta dan rasa syukur. Semua potensi luar biasa ini ada di dalam DNA. Akan tetapi, pembawaan yang terlatih dan paling sering dipakailah yang akan aktif. Ketika sedikit saja sinyal diberikan, ia akan langsung diekspresikan. Adapun yang jarang dipakai, perlahan tapi pasti akan menjadi lemah, aus, rusak dan tidak aktif.
***
Dalam konteks Islam, pengaktifan DNA positif ini dilakukan dalam kerangka pembinaan akhlakul karimah. Pembinaan akhlak mulia ini dilakukan dengan membiasakan diri melakukan beragam amal saleh sehingga dia menjadi sesuatu yang otomatis dilakukan, seakan tanpa melalui proses berpikir terlebih dahulu.
Nah, menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah bahwa sebelum menjadi tabiat dan kebiasaan, suatu perbuatan biasanya diawali dari lintasan pikiran, kemudian menjadi pemikiran, selanjutnya menjadi keinginan. Jika keinginan ini diperturutkan akan lahirlah tekad. Tekad ini kemudian akan melahirkan tindakan atau perbuatan. Jika perbuatan ini diulang-ulang, ia akan membentuk kebiasaan, sampai akhirnya menjadi sebuah tabiat atau karakter alias akhlak.
Seseorang tidak mungkin menjadi orang yang lisannya senantiasa berzikir dan menyenandungkan ayat-ayat suci Al-Quran, di mana pun dia berada, apabila dia tidak membiasakannya sejak lama. Demikian pula, seseorang tidak mungkin menjadi seorang pembunuh bayaran nan sadis apabila dia tidak dikondisikan untuk melakukan aneka kejahatan sebelumnya. Faktor pembiasaan memegang peranan penting di sini, baik dalam konteks ketaatan maupun kemaksiatan.
Dengan demikian, untuk membentuk akhlak yang mulia, pembiasaan, penguatan, ataupun internalisasi nilai-nilai kebaikan harus terus dilakukan sehingga dari sebuah pikiran bisa menjadi kebiasaan dan tabiat. Di sinilah peranan lingkungan, khususnya orangtua dan guru sebagai ”juru masak” kepribadian manusia menjadi sangat penting.
Itulah mengapa, Rasulullah saw. mengingatkan bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan suci bersih dengan membawa beragam potensi luar biasa yang siap diaktifkan. Akan tetapi, lingkunganlah yang kemudian berpengaruh besar dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang kelak kemudian hari, apakah menjadi beriman atau tidak, apakah berprestasi atau malah frustasi. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah dan sudah Islam). Ayah dan ibunya (lingkungannya)-lah yang kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (penyembah api dan berhala),” (HR Al-Bukhari). (Oleh : Tauhid Nur Azhar, symber foto : deviantart.com/l0kust/art/DNA)