Menjadi Ibu Rumah Tangga Profesional

Menjadi “ibu rumah tangga”, seharusnya, menjadi sebuah kebanggaan sekaligus kehormatan bagi kaum wanita. Inilah satu profesi yang sangat unik. Dia tidak ada sekolahnya. waktu kerjanya 24 jam. Tidak ada standar gajinya, selain jaminan pahala berlimpah dari Zat Yang Mahakaya. Produk yang coba dihasilkannya sangat tidak main-main: rumahtangga sakinah, mawaddah, wa rahmah, dengan anak keturunan yang saleh dan salehah sehingga mereka layak menjadi penghuni jannah.

Maka, menjadi ibu rumah tangga membutuhkan profesionalisme tingkat tinggi, melebihi profesionalisme dalam bidang pekerjaan apa pun. Tanpa profesionalisme, menjadi “ibu rumah tangga” adalah ritunitas yang membosankan, melelahkan, bahkan menjadi sumber stres yang paling “menyebalkan”.

Para ibu tentu sangat akrab dengan kondisi berikut: bangun paling pagi, beres-beres rumah, memandikan anak, menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, belanja, menyetrika baju, mengasuh anak, dan sejenisnya. Pagi hari beres, siang hari tumpukan pekerjaan sudah menunggu, demikian pula dengan sore dan malam hari. Itu kewajiban rutin, terkhusus bagi yang tidak punya khadimat (pembantu). Belum lagi kewajiban lain yang tidak kalah penting, bahkan lebih penting, semisal bersosialiasi, mencari ilmu, mendidik anak, ataupun berolah raga.

Hmmm…kapan waktu istirahatnya? Nyaris, tidak ada waktu untuk beristirahat di luar waktu tidur yang itu pun sangat mepet. Bahkan, badan bisa beristirahat, akan tetapi pikiran tetap saja bekerja. Kita putar otak agar semua hal di dalam rumah bisa sesuai dengan harapan.

Kondisi semacam ini kerap membuat sebagian hal penting dalam hidup jadi terbengkalai. Sebelum menikah, kita bisa menikmati malam-malam dengan Tahajud, zikir, tilawah, dan belajar. Setelah berumah tangga, apalagi dengan hadirnya anak-anak, kita mulai sulit mengatur waktu untuk menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Sayangnya, hal ini menjadi alasan untuk tidak melakukan aktivitas lain selainrutinitas di rumah: tidak sempat ke majelis taklim, membaca buku, olah raga, dan aktivitas penting lainnya. Padahal, seharusnya kita yang mengatur waktu, bukan waktu yang mengatur kita. Kitalah yang harus mengatur kesibukan, bukan kesibukan yang mengatur kita.

Nah, di sinilah profesionalitas sebagai seorang ibu rumahtangga amat dibutuhkan. Salah satunya dalam hal mengelola atau memenej waktu. Keterampilan dalam memenej waktu adalah kunci sukses dalam hidup. Tanpa pengelolaan waktu yang baik, kualitas hidup kita, pasangan, dan anak-anak tidak bisa ditingkatkan. Hidup akan berjalan di tempat. Kita pun akan menua tanpa prestasi apa-apa.

Dalam hal memenej waktu ini, ada lima hal yang harus sangat kita perhatikan.

Pertama, seorang ibu harus memiliki tujuan yang jelas dalam hidup. Kemampuan memenej waktu sangat bergantung pada jelasnya tujuan hidup. Semakin jelas tujuan hidup kita, akan semakin sedikit waktu yang kita gunakan untuk hal yang sia-sia. Apa itu hal yang sia-sia? Dalam pandangan ketauhidan, semua kesibukan yang kita lakukan, sejak bangun tidur sampai tidur kembali, akan dihukumi sia-sia apabila tidak kita niatkan karena Allah. Dia hanya akan menjadi rutinitas tanpa bernilai ibadah di sisi Allah. Capeknya dapat, tapi pahalanya hilang. Upah berupa uang belum tentu didapat, upah berupa pahala sudah pasti menguap. Maka, penting bagi kita untuk memastikan agar tujuan hidup kita, terkhusus sebagai ibu rumah tangga. adalah untuk mengharapkan ridha Allah Ta’ala. Cukup itu saja, Semua ucap, gerak. dan langkah kita niatkan sebagai ibadah kepada Allah. Adapun memiliki anak keturunan yang saleh, hafal Al Quran. dan lainnya. itu adalah penjabaran dari tujuan untuk meraih mardhatillah tersebut.

Kedua, susun rencana sesuai sesuai tujuan hidup. Sebaik apa pun tujuan hidup yang kita miliki, kalau tidak didukung perencanaan yang matang dalam merealisasikannya, tujuan itu akan sangat sulit digapai. Pergi ke pasar saja butuh perencanaan: pasar mana yang akan kita tuju, kendaraan apa yang akan kita gunakan, apa yang akan dibeli, berapa biaya yang harus disediakan, dan lainnya. Bagaimana mungkin kita menjalani hidup berkeluarga, dengan orientasi bahagia dunia akhirat, tanpa disertai oleh perencanaan yang matang?

Ketiga, miliki kesungguhan atau keseriusan dalam menjalankan setiap rencana. Dalam surah Al-Baqarah ayat 218, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Kata “hijrah” dan “jihad” dalam ayat itu menunjukkan kesungguhan. Hijrah dari kebiasaan buruk menuju kebiasaan yang baik tentu membutuhkan kesungguhan. Demikian pula menjadi sosok ibu yang menjadi kebanggaan keluarga, sebagai bentuk jihad di jalan-Nya, juga memerlukan kesungguhan.

Maka, pastikan kita memiliki rencana dan target yang terukur dalam hidup, baik harian, mingguan, bulanan, atau tahunan; menyangkut diri sendiri ataupun suami dan anakanak. Misal, dalam sebulan kita sekeluarga sudah harus hafal surah Ar-Rahman. Bagaimana caranya? Kita susun dalam rencana dan target harian. Kapan menghafalnya dan kapan muraja’ahnya.

Keempat, kita harus siap dengan hambatan. Hidup adalah lautan masalah. Maka, dalam situasi apa pun kita akan selalu menghadapi masalah, termasuk saat menjalankan rencana kita. Namun, kalau sejak awal kita sudah siap, masalah justru akan mendewasakan dan menjadi titian bagi kesuksesan dan kebahagiaan kita.

Kelima, lakukan evaluasi. Kalau kita belum berhasil menjalankan rencana, atau malah berhasil menunaikannya, ada baiknya tetap mengevaluasi. Apa hambatan yang kita dapatkan? Mengapa hal itu terjadi? Sebaliknya, kalau berhasil apa penyebab keberhasilan kita? Sesungguhnya, dengan terus melakukan evaluasi, kita akan semakin dekat dengan keberhasilan dan sesuai dengan apa yang diperintahkan AlQuran. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS Al-Hasyr, 59:18) *

“Demi masa. Sesungguhnya munusia itu benar-benar (berada) dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati agar menaati kebenaran dan saling menasihati agar menetapi kesabaran.” (QS Al-“Ashr, 103 : 1-3)

(Oleh : Ninih Muthmainnah)