Adab Seorang Ahli Ilmu

Orang yang berilmu hendaknya memiliki rasa kasih sayang. Ia diharuskan lapang dalam menerima dan suka memberi nasihat serta tidak mendengki. Karena dengki itu tidak akan membawa manfaat dan justru membahayakan diri sendiri.

Berkah Kasih Sayang

Seperti yang dituliskan Imam az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim fii Thariiq at-Ta’allum bahwa Syaikhul Islam Burhanuddin pernah berkata, “Banyak ulama yang mengungkapkan tentang putra seorang mualim yang dapat menjadi orang ‘alim (berilmu); karena mualim itu selalu menginginkan murid-muridnya kelak menjadi ulama ahli al-Quran. Lantaran keberkahan keyakinan, dan kasih sayangnya kepada murid-muridnya itulah maka putranya menjadi seorang ‘alim.”

Syaikhul Islam Burhanuddin juga pernah menceritakan bahwa Burhanu al-A’immmah membagi waktu untuk menambah ilmu kedua putra beliau. Yakni as-Shadr as-Syahid Hisamuddin dan Sai’d Nashirudin pada waktu dhuha. Biasanya setelah semua kegiatan mengajar beliau lakukan.

Kedua putra beliau mengatakan, “Sesungguhnya kami merasa penat dan bosan pada waktu dhuha.” Sang ayah pun menyahut, “Sesungguhnya orang-orang perantauan dan putra-putra pembesar itu berdatangan kemari dari berbagai penjuru bumi. karena itu mereka harus kudahulukan pengajarannya.” Maka atas keberkahan sang ayah dan kasih sayangnya itulah, dua orang putra beliau menjadi orang ‘alim dalam ilmu fikih. Bahkan ilmunya melebihi ahli fikih yang hidup pada masa itu.

Selain itu, seorang ‘alim hendaknya tidak usah turut melibatkan diri dalam pertikaian dan perdebatan sengit dengan orang lain. Karena hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Dikatakan bahwa orang yang berbuat kebajikan akan dibalas karena kebajikannya. Sedangkan pelaku keburukan itu telah cukup keburukan yang akan memberatkannya.

Tidak Membalas Keburukan

Syaikh al-Imam az-Zahir al-Arif Ruknul Islam Muhammad bin Abu Bakar yang masyhur dengan gelar Khawahir Zadah (Mufti al-Fariqaini) mengabarkan kepadaku; beliau berkata bahwa Sulthanul as-Syari’ah wa at-Thariqah, Yusuf al-Hamadani membawakan syair berikut ini:

Biarkan dia, jangan membalas perbuatan jeleknya atas dirimu

Cukuplah apa yang ia lakukan dan kelakuan itu menimpa dirinya

Dikatakan bahwa siapa yang ingin mematahkan batang hidung (membuat geram) lawannya, maka hendaklah ia mengulang-ulang pelajarannya. Yang harus ahli ilmu lakukan adalah mencari kemaslahatan untuk dirinya sendiri. Mengalahkan lawan bukanlah tujuan mencari ilmu. Imam az-Zarnuji menulis, “Jika telah kau penuhi dirimu dengan kebaikan itu sudah cukup menjamin untuk mengalahkan musuhmu.”

Menghindari Permusuhan dan Buruk Sangka

Jangan sampai ada permusuhan karena hal itu akan membuka aib-aib dan hanya membuang-buang waktu. Tahanlah diri terutama dalam menghadapi orang bodoh. Imam az-Zarnuji menulis bahwa Isa bin Maryam pernah bersabda, “Sabarkanlah dirimu dalam menghadapi orang bodoh satu, agar kau mendapat keuntungan (sepuluh).” Maksudnya bijaklah dalam menerima gangguan satu orang bodoh, supaya kamu selamat dari sepuluh gangguan.

Janganlah berburuk sangka kepada sesama orang mukmin. Karena di sanalah sumber permusuhan. Di dalam agama Islam, perbuatan itu tidak dihalalkan. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلَّا ظَنًّا ۗ اِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔا ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِمَا يَفْعَلُوْنَ ﴿يونس : ۳۶

Artinya: Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus [10]: 36).

Berburuk sangka itu muncul karena niatan yang tidak baik atau hati yang jahat. Sebagaimana syair yang dikemukakan oleh Abu at-Thayyib:

Apabila perbuatan seseorang itu buruk maka buruk pula persangkaannya

ia akan membenarkan apa yang selalu dikatakan sangkaannya

ia memusuhi orang yang mencintainya, dengan perkataan musuhnya

hingga di malam harinya nan gelap ia ragu dan bimbang. (Gian)