Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin (Bagian. 2)

Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin

Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin
Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin
  1. Membayarkan zakat

Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi dan nepotisme). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

  1. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah SWT

Dalam ayat sebelumnya (QS. Al-Maidah: 55) disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa hum raki’un). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang Muslim yang kaffah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat. Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

Kepatuhan kepada Pemimpin

Kepemimpinan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-orang yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan kepadanya tergantung dengan paling kurang dua faktor: (1) Faktor kualitas dan integritas pemimpin itu sendiri; dan (2) Faktor arah dan corak kepemimpinannya. Kemana umat yang dipimpinnya mau dibawa, apakah untuk menegakkan diinullah atau tidak.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Untuk hal-hal yang sudah diatur dan ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits, sikap pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-sama tunduk pada hukum Allah. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan mekanisme yang disepakati bersama. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka yang diikuti adalah pendapat pemimpin. Yang dipimpin kemudian tidak boleh menolaknya dengan alasan pendapatnya tidak dapat diterima.

Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level di bawahnya) ada hierarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh pada pemimpinnya, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah islamiyah, bukan atasan dengan bawahan, atau majikan dengan buruh, tetapi prinsip sahabat dengan sahabat. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Kaum muslimin yang berada di sekitar beliau waktu itu dipanggil dengan sebutan sahabat-sahabat, suatu panggilan yang menunjukkan hubungan yang horizontal, sekalipun ada kewajiban untuk patuh secara mutlak kepada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul. Hubungan persaudaraan seperti itu dalam praktiknya tidaklah melemahkan kepemimpinan Rasulullah, tapi malah semakin kokoh karena tidak hanya didasari hubungan formal, tapi juga didasari hubungan hati yang penuh kasih sayang. Wallahu a’lam bishowab

(Wahid)

 

Sumber: Kuliah Akhlaq (Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A)