Kawasan Wakaf Terpadu DT dan Rendahnya Literasi Wakaf
Bertujuan meningkatkan nilai kemanfaatan dari aset-aset wakaf bagi kesejahteraan umat, maka Wakaf Daarut Tauhiid (DT) menjadi pionir dalam mengusung konsep Kawasan Wakaf Terpadu. Ini merupakan konsep pengelolaan wakaf secara produktif dan terpadu dalam satu kawasan. Pengelolaan wakaf secara produktif memiliki dua makna. Pertama, makna produktif secara umum, yakni pengelolaan aset wakaf untuk dimakmurkan oleh berbagai kegiatan, baik komersil maupun sosial. Kedua, makna produktif secara khusus, yaitu pengelolaan aset wakaf secara komersil dan sosial-komersil untuk optimalisasi aset wakaf.
Kawasan Wakaf Terpadu memungkinkan pemanfaatan lahan wakaf dengan menyinergikan berbagai potensi umat. Perkembangan Kawasan Wakaf Terpadu sangat signifikan, tidak hanya di sekitar Bandung Raya, tetapi sudah ada di berbagai daerah. Hal inilah yang menjadikan Kawasan Wakaf Terpadu DT sebagai salah satu model bagi pengelolaan wakaf produktif di Indonesia.
Literasi Wakaf
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, kehadiran dan peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Di sisi lain upaya untuk melaksanakan amanat tersebut masih terkendala pemahaman akan aspek literasi masyarakat terhadap wakaf.
Hasil survei Indeks Literasi Wakaf tahun 2020 mengindikasikan hal ini, di mana nilai Indeks Literasi Wakaf (ILW) secara nasional mendapatkan skor 50,48 yang masuk dalam kategori rendah, terdiri dari nilai Literasi Pemahaman Wakaf Dasar sebesar 57,67 dan nilai Literasi Pemahaman Wakaf Lanjutan sebesar 37,97.
Survei ini melibatkan 100 responden per provinsi atau 3.200 responden secara nasional dan bekerja sama dengan Direktorat Zakat & Wakaf Kemenag RI. Survei dilakukan pada interval bulan Februari hingga April 2020.
Langkah Selanjutnya
Dari hasil survei ILW tersebut, tercantum beberapa rekomendasi sebagai langkah perbaikan bagi pembuat kebijakan dan pengelola wakaf. Pertama, bagi BWI, tentu survei ini menjadi referensi awal dalam menyusun strategi sosialisasi guna mengembangkan perwakafan nasional secara umum. Survei ILW harus dilaksanakan secara berkelanjutan sebagai salah satu alat evaluasi keberhasilan program edukasi dan peningkatan literasi wakaf masyarakat.
Kedua, cakupan survei yang meliputi 32 provinsi juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi BWI daerah, kelompok alim ulama, akademisi, nadzir dan seluruh stakeholder perwakafan di tiap daerah untuk menyesuaikan strateginya. Ketiga, untuk wilayah-wilayah dengan literasi wakaf yang sudah tinggi, hendaknya dapat diikuti dengan peningkatan mobilisasi aset wakaf yang lebih agresif, meskipun harus diakui secara umum literasi wakaf nasional masih jauh lebih rendah dibandingkan literasi zakat. Hal ini harus dipandang sebagai peluang besarnya potensi wakaf yang belum tergarap
Ada pun rekomendasi bagi nazhir, hasil dari ILW ini dapat menjadi gambaran awal bagi para nadzir baik yang berskala nasional maupun daerah, khususnya dalam menilai kinerjanya untuk meningkatkan literasi perwakafan masyarakat. Sehingga pada gilirannya dapat dijadikan dasar penyusunan strategi dalam memasarkan dan memobilisasi produk-produk wakaf di masing-masing wilayah.
Kedua hasil survei menunjukkan tingkat literasi masyarakat masih rendah, namun demikian ada sejumlah daerah dengan tingkat literasi yang moderat/menengah. Ini dapat dijadikan benchmark bagi nazhir apakah tingginya ILW diikuti oleh meningkatnya jumlah mobilisasi aset wakaf, dan kira-kira apa saja kendala yang dihadapi dalam upaya mewujudkannya.
Selanjutnya, preferensi responden dalam melaksanakan wakafnya dilakukan melalui nazhir lembaga. Namun yang menarik, pemberian wakaf langsung kepada mauquf justru menempati posisi kedua sebesar 29%. Hal ini mengonfirmasi rendahnya literasi masyarakat akan wakaf, di mana aktivitas wakaf tercampur dengan aktivitas infaq/sedekah secara umum. (Gian)