Manajemen Perut

Segala sesuatu ada takarannya, ada ukurannya. Segala sesuatu akan terlihat indah lagi baik apabila keberadaannya sesuai takaran. Maka, sesuatu itu menjadi tidak indah lagi apabila tidak sesuai takaran. Entah itu kurang atau pun lebih. Kejujuran dalam berkata-kata adalah indah. Mengapa? Karena ia berada di antara melebihkan informasi dan mengurangi informasi. Pas begitu namanya, moderat istilah kerennya.

Hal ini berlaku pula dalam urusan makan dan minum. Apabila kekurangan, dalam jangka waktu tertentu, ia bisa mendatangkan masalah. Berlebihan pun tidak kalah bahayanya, ia bisa mendatangkan aneka penyakit, baik yang bersifat fisik maupun kejiwaan. Kondisi paling ideal adalah yang paling pas dan paling sesuai dengan kebutuhan.

Bagaimanakah Islam mengatur aktivitas makan umatnya agar senantiasa berada dalam jalur proporsional, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan? Salah satunya adalah dengan mengedepankan prinsip kesetimbangan.

***

Islam sangat menekankan prinsip kesetimbangan, mizan, termasuk dalam hal manajemen makan. Allah Ta’ala telah merancang hadirnya mekanisme fisiologis untuk mengendalikan asupan makanan. Dengan hadirnya mekanisme ini, tubuh akan memberitahu kalau kita sedang lapar sehingga membutuhkan asupan makanan. Tubuh pun akan mengabari kalau kita sudah kenyang sehingga asupan makanan dan minuman harus dihentikan. Apa jadinya kalau tidak ada ”alarm” terkait lapar dan kenyang? Hmmm … ada banyak konsekuensi. Salah satunya tubuh kita akan rusak! Hidup di dunia gak bakalan nikmat lagi.

Sekarang kita lihat tentang apa dan bagaimana ajaibnya satu kondisi yang dinamakan ”kenyang”. Kenyang (wareg dalam bahasa Sunda) adalah sebuah keinginan untuk berhenti makan karena kebutuhan akan asupan makanan atau minuman sudah terpuaskan. Hal ini dikendalikan oleh hipotalamus di otak. Aktivitas makan merangsang peningkatan suhu tubuh sehingga memunculkan sinyal yang akan dikirim ke hipotalamus untuk mengaktifkan mekanisme kenyang. Kerja perut selama makan juga mengirim sinyal yang mengaktifkan rasa kenyang. Tingginya kadar gula dalam darah dan lemak juga dapat menyebabkan rasa kenyang. Demikian juga faktor emosional dan psikologis dapat mengontrol hal yang sama.

Dalam keadaan normal, mekanisme umpan balik negatif untuk menjaga konsumsi makanan dalam tingkat fisiologis tertentu dapat diterima. Namun demikian, keinginan manusia bisa menolak mekanisme kontrol fisiologis yang normal tersebut. Perut akan ”dipaksa” dan ”dikondisikan” untuk menampung sebanyak mungkin makanan.

Hal inilah yang kemudian dikecam oleh agama. Di dalam al-Quran, Allah Ta’ala mengecam orang-orang yang suka berlebihan dan tidak mampu bersikap proporsional. “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) apabila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An’âm [6]: 141).

Rasulullah saw pun menganggap perut yang terlalu penuh dengan makanan sebagai seburuk-buruknya tepat. “Tidak ada satu tempat pun yang dipenuhi anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi dia beberapa suap makanan saja, asal dapat menegakkan tulang rusuknya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).

Mengapa demikian? Terlampau banyak makan akan menutupi hati dan pikiran, mendatangkan kemalasan, menghilangkan sensitivitas jiwa, dan memupuk egoisme. Cahaya ilmu pun akan sulit diserap manakala perut kita terisi penuh dengan makanan. Demikian pula sebaliknya, dengan menyedikitkan makan, pikiran akan lebih jernih dan lebih tajam.

Terlampau banyak makan berpotensi besar mendatangkan aneka penyakit fisik, terlebih kalau itu sudah menjadi kebiasaan. Coba saja Anda urutkan penyakit-penyakit degeneratif yang ada sekarang, sebagian besar bersumber dari perut yang tidak dikelola dengan baik.

***

Ambil contoh obesitas atau ketidaknormalan akibat terlalu banyak makan. Obesitas adalah sebentuk penyimpangan dari konsep homeostatis (keseimbangan). Obesitas bisa disebabkan karena kelebihan kalori atau faktor genetik, bisa pula karena interaksi di antara keduanya. Obesitas karena kalori terjadi ketika asupan energi melebihi pengeluaran energi. Dalam situasi demikian, keseimbangan antara lipolisis dan penyimpanan lemak menjadi bergeser sehingga melahirkan akumulasi lemak. Hal ini mempengaruhi metabolisme tubuh, baik yang bersifat androgen maupun estrogen metabolisme. Ateroma dan cacat fisik juga berkembang.

Pada kenyataannya, sebagian besar kasus obesitas lebih disebabkan oleh asupan makanan yang berlebih meskipun faktor emosional, genetik, dan endokrin pun ikut berperan. Hal ini diperkuat dengan hadirnya faktor-faktor pendukung yang mengkondisikan seseorang untuk banyak makan, meliputi: berlimpahnya makanan dan banyaknya waktu luang, sehingga makan mengarah pada aktivitas sosial yang bernuansa hiburan, sekaligus sebagai sebentuk pelarian dari meningkatnya tingkat stres manusia modern.

Hal paling berbahaya dari obesitas, sejatinya adalah efek-efek ikutannya, yaitu rentannya seseorang terhadap aneka penyakit degeneratif, semisal hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, ataupun aterosklorosis.

Tingginya risiko terkena penyakit degeratif menjadikan penderita obesitas memiliki harapan hidup yang lebih pendek. Kelebihan berat badan membuat beban kerja jantung, kerangka, dan persendian jadi berlebih. Obesitas pun menjadikan seseorang memandang buruk dirinya, minder, yang kemudian berkembang menjadi neurosis dan psikosis. Selain hubungannya dengan penyakit, obesitas dalam bentuk ekstrem pun dapat mengganggu ibadah yang berhubungan dengan aktivitas fisik seperti saum, salat, atau pun ibadah haji.

Obesitas sebenarnya masih dapat diatasi dengan mengurangi asupan makanan di bawah pengawasan medis. Ada pun rumus untuk menangkal obesitas (atau setidaknya kelebihan berat badan), sebenarnya sangat ”sederhana”, yaitu mengubah gaya hidup, termasuk memodifikasi pola makan dan menjalankan olah raga secara teratur. (daaruttauhiid)