Wanita, antara Karier dan Fitrah

Zaman kita sekarang, wanita bekerja di luar rumah termasuk hal yang lumrah. Aneka profesi dijalani, mulai dari yang ringan sampai berat. Layaknya pula kaum Adam, saudari-saudari kita ini sering kali pergi pagi pulang sore, bahkan sampai pulang malam. Ada banyak alasan yang diungkapkan. Ada yang ingin membantu keuangan keluarga. Ada yang menyalurkan bakat. Ada yang ingin mengamalkan ilmu dari kuliahnya dulu, dan lainnya.

Idealnya memang, seorang wanita tidak bekerja di luar rumah karena akan mengurangi hak-hak suami dan anak-anaknya. Padahal, pekerjaan di dalam rumah pun tidak kalah banyak dan menantang. Namun, kondisi yang ada kerap memaksa seorang wanita harus turun ke gelanggang. Bagaimana Islam memandang hal demikian?

Sesungguhnya, wanita dibolehkan bekerja di luar rumah. Akan tetapi, dia tidak sebebas kaum laki-laki. Keluarnya seorang wanita untuk mencari nafkah terikat dengan sejumlah aturan atau ketentuan yang wajib dia penuhi. Apa sajakah itu? Berikut beberapa di antaranya.

Pertama, niatnya harus lurus dan pelaksanaannya tidak melanggar aturan Allah Ta’ala. “Setiap perbuatan itu hanya tergantung pada niatnya. Dan balasan bagi seseorang itu adalah sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR AlBukhari dan Muslim). Dengan melandasi pekerjaan dengan niat karena Allah Ta’ala, dia akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Adapun sebaliknya, apabila niatnya hanya untuk keuntungan duniawi semata, dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali keuntungan duniawi semata. Apalagi kalau seorang istri bekerja di luar rumah karena ingin terbebas dari kewajiban sebagai seorang istri atau seorang ibu, hal ini sangat jelas keharamannya.

Kedua, memilih pekerjaan yang sesuai dengan kodrat dan tidak merendahkan derajatnya sebagai seorang wanita, semisal bekerja sebagai guru, tenaga medis, dan sejenisnya. Bahkan, ada sejumlah pekerjaan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh kaum laki-laki karena berhubungan langsung dengan fisik wanita, semisal bidan, dokter kandungan, perias, dan lainnya. Dalam bidang-bidang semacam inilah seorang wanita hendaknya tampil berkarya.

Ketiga, tidak ada khalwat atau ikhtilat atau bercampur baur dengan lawan jenis yang bukan mahram. Oleh karena itu, seorang wanita harus menghindari bekerja satu ruangan dengan laki-laki. Hal semacam ini harus dihindari karena sangat rentan terhadap fitnah dan bisa mendatangkan aneka kemudharatan. Terjadinya perselingkuhan, pelecehan, dan sejenisnya, sering kali bermula dari tidak terjaganya pergaulan antara laki-laki dan wanita. Bagaimana tidak, dalam kondisi bercampur baur, seseorang akan sulit menjaga pandangannya. Dia akan mudah melihat lawan jenis yang haram untuk dilihatnya.

Keempat, tidak melalaikan kewajibannya sebagai istri (apabila sudah bersuami). Tugas utama seorang istri adalah berbakti kepada suami dan mengurus rumah tangga bukan mencari nafkah di luar rumah. Al-Quran mengungkapkan, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka ( Iaki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara ( mereka ) …” (QS An-Nisa’, 4:34)

Di antara tafsiran kata “memelihara diri” dari ayat tersebut adalah bahwa wanita salehah tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dari harta suaminya. Adapun tafsiran dari “Allah telah memelihara mereka” adalah bahwa Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik.

Kelima, tidak melalaikan tugasnya sebagai ibu (apabila sudah memiliki anak). Tugas utama seorang ibu adalah merawat dan mendidik anak-anaknya dengan benar, baik dari segi jasmani, hati, maupun akalnya. Maka, jangan sampai sesuatu yang tidak wajib (mencari nafkah) melalaikan sesuatu yang wajib.

Keenam, memiliki izin dari suami (jika sudah menikah), atau izin dari ayah (jika belum bersuami). Tentu saja, izin dari suami atau orangtua jangan dipandang sebagai bentuk pengekangan terhadap wanita. Izin dari suami harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian serta wujud dari tanggung jawab seseorang yang idealnya menjadi pelindung. Maka, semakin harmonis sebuah rumah tangga, semakin wajar pula apabila urusan izin keluar rumah ini lebih diperhatikan.*

(Oleh : Ninih Muthmainnah)