Belajar Tawadhu Dari Rasulullah

Ada sebuah hadits dari Nabi tentang tawadhu yaitu: “Siapa yang tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat) nya (di dunia dan akhirat), dan siapa yang sombong maka Allah akan merendahkannya.”

Kenapa disebut “man tawadhu’a ilallah”? karena ada orang yang rendah hati karena akting. Pura-pura rendah hati tapi mengangkat diri, dalam arti rendah hati hanya ingin dipuji dan dikagumi orang agar dianggap rendah hati. Maka orang-orang seperti ini tidak akan menjadi orang yang mulia karena tidak pernah merasakan nikmatnya tawadhu.

Orang-orang yang merasakan nikmat tawadhu adalah orang-orang yang memang tawadhunya karena Allah Ta’ala, sedangkan lawan tawadhu itu sendiri adalah takabbur. Ada dua ciri orang yang tawadhu itu:

Pertama, mendustakan kebenaran. Orang-orang yang sombong adalah orang yang tidak suka sama sekali dengan kebenaran, apapun yang berkaitan dengan agama, Allah, Rasul, kitab suci Al-Qur’an, dan apapun yang berkaitan dengan para ulama dia tidak suka, karena dirinya sudah menjadi kebenaran maka yang lain dianggap salah. Kemudian yang kedua ciri dari takabbur adalah menganggap remeh orang lain.

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana ketawadhu’an baginda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam?. Baginda Rasulullah merupakan orang yang sangat tawadhu’ meskipun ia berada pada puncak kemuliaan. Karena ia merasa apapun yang ia memiliki semua adalah milik Allah. Contohnya ketika beliau mengucapkan “Alhamdulillahirobbila’lamin”, beliau sangat yakin bahwa dirinya dan apa yang dimilikinya adalah milik Allah. Jadi kunci dari tawadhu baginda Rasul adalah bahwa kita ini tidak memiliki apa-apa, bahkan badan kita ini sekali pun.

Jadi kalau kita dipuji dan dikagumi oleh orang lain, maka yang sebenarnya yang dipuji adalah Allah yang memiliki dan menciptakan. Misalkan ketika ada yang memuji dengan mengatakan “Wah ini anaknya pintar ya”, maka yang diucapkan ketika mendengar pujian tersebut adalah “semoga kepintaranya itu mendekat dirinya kepada Allah SWT yang menitip kepintaran itu kepadanya”.

Salah satu keteladan yang bisa diambil dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah ketika baginda Rasul melayani atau bertemu orang lain, tidak membeda-bedakan baik yang miskin maupun yang kaya. Perlakuan beliau sama ketika bertemu dengan orang kaya dan miskin, langsung melayani sendiri dengan memberikan air minum dan menyediakan alas tempat duduk. Semoga kita terus belajar menjadi orang yang tawadhu’ dan berlatih menjadi tawadhu’. Wallahu a’lam bishwowab.

(KH. Abdullah Gymnastiar)