Kembar Tak Harus Sama

Dua tahun lalu, saat keponakan kembar saya lahir, keluarga menyambutnya dengan gembira. Anak kembar, seperti apapun bentuknya, selalu menjadi pusat perhatian; lucu dan menggemaskan. Minggu pertama kelahirannya, saya ikut mengasuh dan merawatnya, bergantian dengan orangtua dan mertua kakakku. Saat tiba giliranku menunggui si kembar, tiba-tiba salah satu kembar menangis. Rupanya ia pipis. Belum selesai saya mengganti popoknya, kembar satunya lagi nangis. Saya kasih botol susu, lalu saya kaitkan botol itu di tangannya yang mungil. Saya pun meneruskan mengganti popok kembar lainnya. Meski kembar satunya sudah dikasih susu, tapi ia masih nangis. Saya pegang popoknya, ternyata basah, bahkan bau ee. Saya pun harus mengganti popok dan membersihkan ee-nya. Repot rasanya. Tapi menyenangkan.

Setelah si kembar tumbuh besar, pertumbuhannya sedikit berbeda. Kakaknya lebih gemuk dari adiknya, tapi secara motorik, perkembangannya lebih cepat yang kecil. Tubuh kecilnya otomatis membuatnya lebih mudah bergerak sehingga nampak lebih gesit. Bicaranya pun lebih lancar dari kakaknya. Saat disuruh menyebut kata “janggut”, si kecil menyebut “jagut”, tapi yang besar menyebut “adut”. Saat berebut mainan, si kecil santai saja merebut mainan kembarannya. Sementara kakaknya menangis sambil menunjuk-nunjuk adiknya, berharap orang dewasa di sekitarnya membantunya merebut kembali mainannya.

Mengasuh dan mendidik anak kembar, memang memiliki romantika tersendiri. Pada umumnya, orang memperlakukan anak kembar dengan perlakuan sama; memakaikan baju yang sama, memberi mainan sama, bahkan menyikapi perilaku mereka dengan perlakukan sama. Padahal, meski secara fisik cenderung identik, secara prikologis, mereka tetap dua pribadi yang berbeda. Psikolog anak, Dr. Seto Mulyadi, mengatakan, “Anak kembar harus menjadi individu utuh yang menjadi diri sendiri tanpa menjadi bayang-bayang saudara kembarnya. Mereka harus tumbuh seperti anak biasa.”

Kadang, anak kembar memiliki tingkat inteligensi yang berbeda. Bila mereka tidak mampu menyikapi hal ini dengan baik, akan muncul akibat negatif, seperti persaingan atau kompetisi yang mengarah pada perkelahian, atau munculnya rasa minder pada salah satu kembar yang kemampuannya lebih rendah. Saya pernah melihat tayangan di TV tentang bunuh dirinya seorang anak gara-gara ia tidak secerdas kembarannya. Kembarannya naik kelas bahkan mendapat rangking, sedang ia tidak naik kelas.

Di satu sisi, kompetisi ini bisa disebut wajar dan sehat, selama itu bisa membantu mereka mengenal lebih jauh siapa dirinya dan siapa saudara kembarnya. Dr. Eileen Pearlman dalam bukunya Raising Twins, menyebut hubungan yang sehat antara anak kembar adalah keseimbangan antara kompetisi dan kerjasama. Kompetisi bahkan dapat membantu anak-anak kembar mencapai potensi yang lebih tinggi. Kekalahan dan kemenangan yang mereka alami, bisa membantu mereka melihat kehidupan secara realistis.

Si kembar, dalam beberapa hal kadang menuntut orangtua atau orang di sekitarnya memperlakukan mereka “sama”, sebagai bentuk keadilan. Ingin mendapat uang saku sama, sama-sama ingin dibelikan baju baru dsb. Namun demikian, Kak Seto menganjurkan agar anak kembar tetap diperkenalkan perbedaan diri mereka sejak dini. Pearlman menambahkan, bahwa mengakui perbedaan dan persamaan memungkinkan si kembar menerima siapa diri mereka dan mendorong pertumbuhannya.

Seto, dalam bukunya Kiat Menghadapi Anak Kembar, menyarankan orangtua untuk mengarahkan anak kembarnya aktif dalam kegiatan yang berbeda. Hal ini memungkinkan mereka untuk meraih prestasi tertinggi di bidang masing-masing. Bila mereka punya minat yang sama, bisa melakukan di tempat yang berbeda. Bila kerjasama dan persaingan seimbang, akan memacu si kembar untuk berprestasi lebih besar. Apalagi kalau mereka mampu merayakan keberhasilan saudara kembarnya dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. (Indah/MQ)***

Tips dari Dr. Seto Mulyadi

Lima Lubang Jebakan;
1. Berusaha membuat segalanya sama.
2. Memperbandingkan sedemikian rupa sehingga mengarah pada pemberian label.
3. Terlalu memfokuskan pada hasil; berhasil atau gagal.
4. Mengesampingkan perbedaan di antara si kembar.
5. Memproyeksikan pengalaman sendiri pada kembaran mereka.

Lima Sinyal Masalah;
1. Anak kembar marah besar bila saudaranya menang atau kalah.
2. Salah satu anak tak mengakui atau tidak menganggap kemenangannya sendiri.
3. Seorang anak kembar ingin berhasil dengan cara apapun.
4. Salah satu anak selalu mengalah pada saudara kembarnya.
5. Seorang anak kembar menolak terlibat dalam kegiatan yang sama dengan saudara kembarnya, meskipun mereka berdua amat menggemari kegiatan itu.

Empat Strategi Positif;
1. Mengakui bahwa mereka masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan yang berbeda.
2. Memfokuskan pada upaya, bukan hasil.
3. Membantu si kembar menerima diri mereka sendiri, beserta keberhasilan dan kekalahan masing-masing.
4. Memperlakukan masing-masing sebagai pribadi. Misalnya, tidak mengharapkan mereka berdua memainkan biola atau sama-sama unggul dalam sepak bola. (Indah)