Islam dan Produktivitas

Islam tidak hanya mengajarkan mengenai ibadah vertikal semata. Melainkan juga ibadah dan perbuatan kebajikan lainnya sesama manusia, termasuk mengenai anjuran bekerja. Seperti dalam sebuah hadis Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika kiamat telah mulai terjadi sedang di tangan salah seorang di antara kalian ada sebuah biji (benih tanaman), maka jika dia sempat menanamnya menjelang kiamat itu, hendaklah dia menanamnya.” (HR. Ahmad).

Sebuah ajaran tentang produktivitas yang amat agung. Jika kita tahu bahwa besok tidak ada lagi harapan hidup atau kehidupan akan berakhir sama sekali, Islam mengajarkan bahwa kita tetap harus menanam apa yang kita punya. Tetap produktif dalam berkarya.

Sangat indah yang Islam ajarkan. Inilah karakter yang seharusnya terbangun dalam diri setiap umat Islam. Rajin-rajinlah memproduksi sesuatu entah apa pun itu produknya. Entah apa pun itu karyanya yang penting bermanfaat bagi orang banyak. Tingkatkanlah produktivitas meskipun jika seandainya kita tahu besok akan tiba hari akhir itu.

Produktivitas inilah yang saat ini menjadi kendala utama di negara kita. Di tengah negeri yang subur makmur atau gemah ripah loh jinawi namun masih banyak kekurangan yang terjadi. Sebetulnya ada dua sisi yang perlu kita lihat dari pola perilaku masyarakat Indonesia. Seperti yang disinggung oleh Rachmatullah Oky pada Dari Bilik Sebuah Kamar, pertama adalah soal kesederhanaan, lalu yang kedua adalah soal kemandirian. Dua hal inilah yang perlu kita amati bersama, sejauh mana Islam sudah memengaruhi kehidupan sosial umat Islam Indonesia.

Kesederhanaan dan Kemandirian

Kesederhanaan merupakan perilaku yang berhubungan erat dengan hidup bersahaja. Namun sederhana bukan berarti miskin. Hidup sederhana adalah hidup sesuai dengan kebutuhan. Hidup sederhana bukanlah pergi dari Bandung ke Jakarta naik sepeda. Hidup sederhana juga bukan berpakaian robek-robek ke kantor.

Namun hidup sederhana ialah dalam memenuhi kebutuhan dengan cara yang wajar. Tidak memuaskan keinginan semata. Kesederhanaan bukanlah terletak pada nominal yang kita keluarkan, tetapi lebih pada sikap dan perilaku kita. Apakah kita memerlukan barang atau jasa atau sebenarnya hanya untuk memenuhi nafsu saja.

Sedangkan kemandirian adalah perilaku bangga akan produk sendiri. Bangga atas hasil karya dan kemampuan sendiri. Kemandirian juga bukan berarti anti produk asing. Jika memang produk asing itu jauh lebih berkualitas dan kita memerlukannya, maka tidak ada salahnya kita memakainya. Tapi selama produk yang kita ingin beli itu bisa dikerjakan secara mandiri, dengan mutu dan kualitas yang tidak kalah, maka memakai produk asing bukanlah pilihan pertama.

Umat Konsumtif

Kehilangan dua karakteristik inilah yang menjadikan produktivitas umat muslim menurun drastis. Kita cenderung hidup dan tumbuh sebagai bangsa yang konsumtif dan tidak produktif. Menjadi bangsa yang hanya menikmati hasil karya orang lain dan mencibir karya hasil bangsa sendiri, sehingga untuk mendongkrak angka penjualan pun sebagian produsen produk lokal terpaksa menamai produknya dengan merek-merek yang terkenal. Meskipun kualitas produk lokal tidak kalah jika dibandingkan. Ini adalah permasalahan cara pandang yang perlu dibenahi.

Sudah saatnya kita hidup sederhana dan tidak perlu memiliki apa yang memang tidak kita butuhkan. Inilah saatnya kita bangga dengan produk dalam negeri. Dengan buah dan sayuran segar produksi para petani kita. Dengan susu dan daging terbaik dari para peternak dalam negeri. Juga beras dan minyak tersehat karena diambil dari tanah negeri kita sendiri.

Bekerja dalam kesederhanaan dan dalam penuh kemandirian. Itulah yang harus kita lakukan untuk meningkatkan produktivitas umat ini. Semoga kita bisa menjadi ‘petani-petani’ yang menanam bibit kemajuan. Meskipun seandainya kita tahu bahwa hari akhir akan segera tiba. (Gian)