I’tikaf di Kala Pandemi

I’tikaf secara etimologi berarti menetapi, tidak meninggalkan. Menurut Imam Syafi’i, menetapnya seseorang pada suatu tempat disebut dengan i’tikaf, tidak terbatas apakah menetap pada kebaikan atau kemaksiatan. Hal ini dijelaskan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an;

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS. Al-Anbiya’: 52)

Tentang i’tikaf (menetap) dalam hal kebaikan disebutkan juga dalam Al Qur’an;

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)

I’tikaf secara istilah syar’i adalah menetap di dalam masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat yang khusus untuk beribadah. Istilah i’tikaf di sini hanyalah i’tikaf dalam hal kebaikan atau ibadah saja.

Rukun dan Syarat

Orang yang beri’tikaf haruslah memenuhi tiga syarat yaitu Islam, berakal, dan bersih dari hadats besar (yaitu junub, haidh, dan nifas).

Kemudian jika anak-anak dan wanita yang sudah bersuami beri’tikaf apakah sah i’tikafnya? Anak-anak dan wanita yang sudah bersuami tetap sah i’tikafnya dengan syarat, (1) anak kecil yang sudah tamyiz (kekuatan daya pikir yang dengannya anak mampu menemukan dan menetapkan beberapa makna atau sekitar usia 7 – 10 tahun), (2) wanita yang sudah bersuami dengan syarat telah diizinkan suaminya. Jika wanita ini i’tikaf tanpa izin suami berarti ia telah dianggap menyelisihi suaminya, i’tikafnya tetap sah namun dihitung melakukan keharaman.

I’tikaf hanyalah sah jika dilakukan di masjid, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menyatakan, “I’tikaf di mushala rumah wanita atau di musala laki-laki, tempat semacam ini masih bisa diubah dan orang junub masih boleh berdiam di dalamnya. Para wanita di masa dulu selalu melakukan i’tikaf di masjid karena memang i’tikaf itu hanyalah di masjid.” Hal ini sebagaimana dalam firman Allah,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).

I’tikaf Saat Pandemi

Jadi dalam melakukan i’tikaf haruslah di masjid, tidak bisa di rumah, walaupun ada mushala rumah, berdiam di mushala rumah tidak disebut sebagai i’tikaf.

Sebagai gantinya di masa pandemi, perbanyaklah ibadah di rumah (perbanyak membaca Al-Qur’an, membaca tafsirnya, memperbanyak dzikir, perbanyak shalat sunnah, dll), termasuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. dan insyaAllah kita tetap mendapatkan pahala i’tikaf karena pandemi ini menjadikan uzur yang membuat kita hanya bisa beribadah di rumah.

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits tersebut, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits diatas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)

Tetapi saat ini kita juga bisa melakukan i’tikaf di masjid, karena beberapa masjid sudah memperbolehkan untuk dilakukan I’tikaf didalamnya. Tetapi dengan syarat kita tetap menjaga protokol kesehatan agar ibadah i’tikaf kita bisa maksimal dan lancar, bukan justru mendatangkan kemudharatan. (Wahid)